hae gaes... cerita kali ini agak siriyes dikit. sekali-sekali lah ya, biar enggak rugi kuliah mahal-mahal :p
Beberapa waktu yang lalu, saya diingatkan oleh seorang dosen bahwa ada yang
disebut dengan kebenaran otoritatif.
Ini adalah jenis kebenaran yang ‘seolah-olah benar’ karena yang mengatakan hal
itu adalah orang yang punya otoritas, misalnya orang tua, pemuka agama, seorang
yang punya gelar pendidikan yang tinggi, intinya orang yang dianggap lebih
‘berkuasa’ dan lebih ‘kompeten’ karena punya otoritas. Misalnya saya yang masih
dalam proses belajar ini, dibandingkan dengan dosen saya, ya pasti Anda akan
lebih percaya dosen saya, ya tho? Apalagi saya yang awam, dibandingkan dengan
Romo, apalagi Uskup, pasti Anda akan lebih percaya mereka. Ya aing mah naon atuhhh…
Padahal belum tentu yang diucapkan oleh para ‘Yang Mulia’
yang punya otoritas itu lebih benar dibanding apa yang dikatakan oleh orang
yang tidak punya otoritas. Bisa jadi, misalnya karena slip of the tongue alias ‘kepleset lidahnya’, orang yang punya
otoritas itu jadi salah bicara, tapi tetap saja kita lebih percaya.
Apakah ini berarti kita tidak boleh percaya dengan apa yang
dikatakan mereka yang memiliki otoritas? Ya enggak gitu juga sih. Bagaimanapun, mereka yang punya otoritas (biasanya) memang
memiliki kompetensi yang mumpuni, dan karena kompetensinya itu, maka mereka
diberi otoritas. Jadi, bukan berarti kita tidak perlu percaya mereka, karena
bisa jadi yang mereka sampaikan benar-benar benar.
Memang pada beberapa hal kita tidak perlu membantahnya,
karena memang cuma bisa dipercaya, cuma bisa diimani, cuma bisa diikuti. Soal
yang satu ini saya tidak akan bahas lebih jauh daripada saya sesat, karena
selain saya tidak punya kompetensi soal ini, saya juga tidak punya otoritas
untuk bicara soal ini, maka sangat kecil kemungkinannya Anda akan percaya pada
saya.
Akan tetapi, kita perlu cermat dan kritis tentang apakah
perkataan yang disampaikan orang yang memiliki otoritas ini benar-benar benar.
Atau jangan-jangan ada hal lain yang lebih benar? Ini pentingnya cek ‘en ricek (bukan acara gosip).
Membaca dan berdiskusi adalah dua hal yang bisa dilakukan untuk mengkritisi
suatu pernyataan. Dua hal ini bisa menjadi cara konkret kita mewujudkan
#PantangHoax.
Nah, setelah ini silakan coba mencari tentang kebenaran
otoritatif di atas, jangan mau asal percaya pada apa yang saya tulis. Siapa
yang tahu kalau saya (sengaja) menyesatkan? :p
Jatinangor, 28 Maret 2018
menjelang berakhirnya masa prapaskah, tapi yuk terus jalanin #PantangHoax :)
vania yang pendiam dan pemalu (ini bukan hoax)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar