Selamat Paskah,
saudara saudari!
Paskah 2018 terasa
berbeda bagi saya, karena ini adalah Paskah pertama saya di Jatinangor. Yup,
saya enggak pulang ke Jogja. Sejak Natal 2017, saya sudah membulatkan tekad
untuk Paskahan tidak di Jogja. Alasannya sebenarnya sederhana, hari Kamis pasti
saya kuliah sampai sore. Kalau saya memaksakan pulang ke Jogja, pilihannya saya
nggak ikut misa Kamis Putih atau saya bolos kuliah hari Kamis. Saya nggak mau
milih keduanya, maka saya memilih Paskahan tidak di Jogja, pikiran saya mau
Paskahan di Jakarta (dan sekitarnya) atau di Bandung. Saya nggak mau Paskahan
sendirian. Tapi lagi-lagi karena masalah jadwal, ditambah juga masalah duit, dan pertimbangan dari salah seorang sahabat, "(Coba Paskahan di tempat) yang nggak mungkin kamu alami lagi," akhirnya saya memutuskan Paskahan di Jatinangor saja. Meski sudah
memutuskan sendiri, ternyata galau juga cuy nggak ikut hiruk pikuk di Mas Anto,
apalagi hari Kamis sebelum Minggu Palma banyak orang Kotabaru update gladi
Kamis Putih, langsung mewek deh malam itu...
Untungnya,
karena keadaan lagi agak selo, besoknya bisa mlipir sebentar ke Jakarta. Jadilah
saya ber-Minggu Palma di Jakarta. Hari Jumat itu saya dolan ke Paroki Blok Q
untuk menghabiskan waktu. Di sana saya diajak untuk melihat hiruk pikuk
persiapan Minggu Palma dan dikenalkan dengan beberapa umat. Lumayan, obat
kangen Mas Anto. Senang sekali rasanya. Pas hari Minggu Palma saya ke Gereja
St. Theresia Menteng, baru sekali itu ke sana, dan baru tau itu berbau Jesuit
juga hehehe seperti biasa, lagu Yerusalem Lihat Rajamu sukses bikin saya mewek,
selain karena suasananya, tapi saya juga ingat ponakan saya, Abel, yang dulu
senang nyanyi, “Heruhalem, Heruhalem” dan kayaknya sekarang sibuk nyanyi di surga
:”) Minggu Palma, meski saya misa sendiri, tapi selama di Jakarta saya ketemu
beberapa sahabat. Hepi!
Ketemu Kakakku (baca: Romo Cahyo) dan Kinan (tetua misdinar)
Paroki Blok Q
|
Minggu Palma
setelah misa di Gereja St. Theresia Menteng
|
Meski Minggu
Palma sudah hepi, ternyata jelang Kamis Putih saya galau lagi. Maklum, beberapa orang
mengajukan pertanyaan seputar “paskahan di mana” dan “paskahan pulang enggak”,
termasuk mama saya sendiri. Makjleb lho itu rasanya *kemudian mewek* tapi tekad sudah
dibulatkan: Paskah di Jatinangor.
Nggak cuma
bertekad paskahan di Jatinangor, saya pun bertekad naik angkot dan jalan kaki
tiap ke gereja. Biasanya saya naik ojek dari kos. Maklum, jalannya lumayan
jauh. Gereja yang saya datangi ini di dalam kompleks IPDN, namanya Gereja St.
Albertus Magnus, atau biasa saya sebut dengan Mas Albert. Dari gerbang IPDN
menuju gereja, jaraknya masih sekitar 1km, dengan jalan yang menanjak,
berlubang, berpasir dan berkerikil. Naik ojek aja saya harus sambil merapal
Salam Maria berulang kali, takut jatuh. Jalan kaki juga capek euy. Tapi tekad
saya sudah bulat untuk nggak naik ojek.
jalan berlubang, berbatu, berkerikil |
perjalanan menanjak, serasa ke Golgota (lebay) |
jalannya lumayan jauh juga cuy |
Ketika Kamis Putih, setelah naik angkot
dan nyebrang, saya pun mau mulai berjalan kaki, eh baru beberapa langkah dari
gerbang, tiba-tiba ada mobil mendekat dan pengemudinya membuka kaca lalu
menawarkan tumpangan, “Mau ke gereja mbak? Bareng aja.” Saya kaget. Maklum,
baru pertama kali mengalami. Yang memberi saya tumpangan saat itu adalah sebuah
keluarga cukup muda, ada bapak, ibu dan anak laki-laki sekitar usia 8 tahun.
Ibu itu aslinya Klaten. Ketika saya bilang terima kasih sekali dan maaf
merepotkan, kata ibu itu, “Nggak apa-apa mbak, kan masih ada tempat, biar
sekalian.” Saya terharu. Meski begitu ketika Kamis Putih saya tetap mellow,
(seakan-akan sok-sokan) merasakan kegalauan, kesendirian, kegentaran, kesedihan,
kecemasan Gusti Yesus di malam setelah perjamuan terakhir dan sebelum Dia
ditangkap. Saya merasa sendirian, nggak dianggap, nggak penting. Tapi Allah
Yang Maha Kreatif itu memang adaaa aja caranya ya, kala itu Dia menghibur dengan
beberapa lagu, di antaranya lagu taize yang dinyanyikan saat misa, "Nada
de turbe nada teespante, quien a Dios tiene nada lefalta, nada de turbe nada
teespante, solo Dios basta", yang artinya “Janganlah cemas, janganlah
takut, di dalam Tuhan berlimpah rahmat, janganlah cemas, janganlah takut,
serahkan Tuhan.” Eh dapet bonus juga sih Kamis Putih ini, duduk di sebelah
mas-mas ganteng #eaaa #abaikan
Kamis Putih
teks yang dipakai 4 hari dari Kamis sampai Minggu
|
Sakramen Maha Kudus di depan Patung Bunda Maria |
Pas Jumat
Agung, lagi-lagi saya berniat jalan kaki ke gereja. Maklum, saya nggak ikut
jalan salib paginya, jadi anggap saja jalan kaki itu semacam perjalanan ke
Golgota #lebay. Sudah sekitar sepertiga perjalanan dari gerbang saya tempuh
dengan berjalan kaki, tiba-tiba ada mobil dari belakang yang mendekat dan
menawari tumpangan. Di dalam mobil itu ada ibu paruh baya sekitar 50 tahunan
yang ternyata asli Magelang, dan anak perempuannya sekitar 18 tahun (ceritanya
baru mau lulus SMA dan pengen kuliah di Unpad, tapi dandanannya ngalahin yang
S2 –maksudnya saya- sih ya). Ibu itu, namanya Ibu Retno, cerita kalau mereka
dari Cirebon. Paginya mereka berangkat jam 7 dan sampai di Jatinangor sekitar
jam 10. Beliau dan anak perempuannya sering ke IPDN karena anak laki-lakinya,
kakak si anak cewek, di IPDN. Di perayaan Jumat Agung saya mendapat kejutan:
passio yang dipakai adalah passio ciptaan Tante Alma yang adalah passio yang
sering dipakai di Kotabaru dan favorit saya. Langsung lah mewek dan ikut nyanyi
sepanjang passio. Ternyata juga salibnya yang dipakai untuk penghormatan salib cuma
satu, jadi penghormatan salib dilakukan setelah ibadat.
Jumat Agung
penghormatan salib setelah ibadat
|
Sabtu Malam
Paskah, lagi-lagi saya dapat tumpangan lagi ketika sudah sepertiga perjalanan. Kali
ini yang memberi tumpangan adalah pasutri dan Opung (yup, orang Batak). Pasutri
ini sekitar usia 40 tahunan, dan sebenarnya tinggal di Jakarta, tapi Paskahan
di Jatinangor demi mengunjungi Opung. Pasutri ini baik banget, bahkan
menawarkan saya untuk menginap di rumah mereka kalau saya ke Jakarta. Ternyata,
kakak ipar dari bapak itu orang Kotabaru, coy! Nggak jauh dari gereja katanya. Betapa
sempitnya dunia! Ketika sudah turun dari mobil dan berjalan bersama Opung dan
ibu, Opung itu mengajak saya mengobrol,
O: Kamu
kuliah semester berapa?
V: Semester
2, tapi S2
O: Oh S2? Hebat
kali. Jurusan apa?
V: Psikologi
O: Apa lah
itu psikologi? Tak tau lah aku.
I: Itu
Amang, mempelajari kejiwaan seseorang.
O: Oh, hebat
kali bah. Kuliah yang benar ya, jangan… kalau orang Medan bilang marhallet. Jangan
marhallet ya.
V: Apa itu?
I: Maksudnya
jangan pacaran dulu.
V: OH HAHAHA
*siap ngakak, tapi ditahan karena Opung melanjutkan nasihatnya*
O: Sekolah
dulu yang benar, lalu kerja untuk ganti orang tua… ganti keringat orang tua ya.
Begitulah saya
mengawali Sabtu Suci Malam Paskah. Ketika misa, ada beberapa bagian liturgi yang
beda dengan di Kotabaru (pastinya), terutama karena malam itu di Mas Albert ada
pembaptisan. Senang sekali bisa menjadi saksi pembaptisan dan penerimaan. Lagu Syukur
Kepada-Mu Tuhan paling nyesss sih. Selain itu juga ada lagu Haec Dies, Hati
Kudus Yesus dan Rejoice yang juga paling bikin nyesss di hati. Setelah misa,
saya sempat ngobrol dengan beberapa orang, di antaranya adalah mereka yang koor
Jumat Agung, karena saya menyapa dan mengapresiasi mereka sih waktu Jumat
Agung. Saya jadi merasa nggak sendirian. Dan lagi, saya nyalami mas-mas ganteng
yang duduk di sebelah saya waktu Kamis Putih HAHA #abaikan
Malam Paskah
awalnya gelap
|
Malam Paskah
jadilah terang
|
Minggu
Paskah, sesuai anjuran Pastor Ote, saya pun ke gereja lagi. Niatnya sih jalan
kaki lagi, tapi apa daya bangunnya telat, akhirnya naik ojek lah saya, diantar
oleh tukang ojek langganan yang orang Jogja. Biasanya saya jarang misa Minggu
Paskah, ternyata memang beda liturgi dan bacaannya. Kalau di sini, karena Malam
Paskah ada pembaptisan, maka Malam Paskah nggak ada pemercikan untuk umat. Nah,
pemercikannya baru saat Minggu Paskah. Eh ternyata abis misa ada ramah tamah
gitu, ada snack, dan pembagian telur! Hahaha lucu amat, semua umat boleh
mendapatkan telur paskah, nggak cuma anak-anak saja. Lumayan, rezeki anak kos
:D
Minggu Paskah
pemberkatan telur setelah misa untuk dibagikan ke umat
|
Minggu Paskah
suasana ramah tamah di halaman sebelah gereja
|
Pada akhirnya,
keputusan untuk berpaskah di Jatinangor adalah keputusan yang saya syukuri,
bukan saya sesali. Tanpa ikut hiruk pikuk (seperti) di Mas Anto, tanpa (banyak)
orang yang dikenal. Saya sendiri, tapi ternyata Gusti Allah nggak membiarkan
saya benar-benar sendiri. Bahkan setelah misa Minggu Paskah, ketika saya jalan
kaki ke kos, entah gimana ada seorang ibu yang ngajak ngobrol sepanjang jalan,
ibu itu mau pulang ke rumahnya yang nggak jauh dari kos saya. Kalau kata salah seorang sahabat saya yang lain, "Keluarga emang jauh, tapi yang mirip-mirip ada lah."
Gusti Allah
memang suka sekali bercanda, tapi cinta kasih-Nya nggak bercanda, serius
banget! Keseriusan kasih-Nya ini sudah dibuktikan lewat peristiwa yang kita
peringati pada Kamis Putih-Jumat Agung-Paskah, yang secara konkret diwujudkan
oleh Yesus. Gusti Allah Yang Maha Kreatif itu juga menunjukkan kasih-Nya pada
kita dengan cara berbeda-beda, sesuai dengan pribadi kita masing-masing, sesuai dengan kebutuhan kita, sesuai dengan kondisi dan situasi kita. Dan
cara yang dipakai-Nya untuk kita masing-masing selalu pas.
Selamat Paskah,
teman-teman! Semoga kebangkitan Kristus menguatkan kita untuk semakin berani
berjuang dalam hidup. Salam, doa dan peluk virtual dari Jatinangor!
Minggu Paskah, 1 April 2018
Bukan April
mop,
Vania yang
pendiam dan pemalu (ini juga bukan April mop) :p
Selamat paskah, Vania. Aku baru tahu kalau kamu stay di Jakarta. Di mananya Vania?
BalasHapusDan, Cahyok sekarang tambah tua sekali ya... Jadi romo pula.
aku enggak stay di Jakarta kok, Mbak :)
HapusAh.. I see.
Hapus