Heyho! Apa kabar 2018mu? Semoga dua bulan di awal 2018 ini
berjalan menyenangkan dan bisa menjadi penyemangat untuk bulan-bulan
berikutnya, ya :D
Kemarin, saya sempat iseng bikin polling di Twitter: mana
yang lebih susah, menahan diri untuk cerita hal yang menyenangkan, atau menahan
diri untuk cerita hal yang menyedihkan atau mengesalkan?
Saya belum lihat hasil akhirnya sih, tapi berdasar data
terakhir yang saya lihat, kebanyakan memilih lebih susah menahan diri untuk
cerita hal yang menyedihkan atau mengesalkan, intinya cerita yang mengandung aspek
emosi negatif. Hal ini bisa dibilang wajar. Kalau kata dosen saya di S1 dulu,
orang itu akan cerita kalau punya masalah, atau yang diceritakan itu biasanya
adalah masalah. Saya pribadi juga merasa sih, kalau lagi bete atau sedih atau
cemas gitu bawaannya pengen cerita sama siapa pun. Ya walaupun mungkin
masalahnya nggak selesai, tapi minimal ada perasaan lega karena sudah berbagi
dan tau ada orang yang care. Seorang sahabat saya pernah bilang kalau beban
yang dibagi itu (seakan-akan rasanya) jadi hilang setengah bebannya. Itu yang
(mungkin) biasa disebut sebagai katarsis.
Akan tetapi berdasarkan pengalaman saya, cerita bahagia,
membanggakan, mendebarkan (dalam arti positif) atau yang mengandung aspek
positif itu juga susah untuk tidak dibagikan. Misalnya kita lulus ujian, naik
kelas/naik pangkat/naik gaji, keterima kerja, jadian, dapet undian, mau
liburan, rasanya juga pengen seluruh dunia tau kan? (cari temen, atau jangan-jangan
cuma saya doank ya hahaha). Seorang sahabat (yang sudah saya sebut di atas)
juga menambahkan kalau cerita bahagia yang dibagi, itu (seakan-akan) jadi dua
kali lipat bahagianya.
Maka, menurut saya, cerita sedih maupun cerita bahagia sama
aja susah ditahan untuk nggak dibagikan, meski oleh orang yang pendiam dan
pemalu seperti saya :P *kemudian ditimpuk mouse* *gapapa sini saya terima
hahaha*
Walau gitu, tetap aja ada bedanya antara cerita sedih dan
cerita bahagia. Ketika cerita sedih/kesel kita bagikan, biasanya akan ada
sesuatu yang diberikan oleh orang yang mendengarkan cerita kita, sesederhana
kata ‘sabar ya’, emoji ikut kesel/marah, diberi pukpuk atau hugs, diberi saran
atau nasihat, dan macem-macem. Intinya, apa yang diberikan oleh orang itu,
kemungkinan besar akan menurunkan rasa sedih/kesel/cemas kita. Sebaliknya,
ketika cerita senang kita bagikan ke orang lain, biasanya orang itu akan turut
senang atau memberi komentar menyenangkan yang akan meningkatkan rasa senang
kita. Apalagi kalau kita cerita tentang harapan atau ekspektasi atau rencana
kita, biasanya komentarnya tuh makin membuat perasaan kita melambung dan imajinasi
kita makin menjadi-jadi. Menurut saya, di sini kudu ati-ati. Ingat, segala
sesuatu yang berlebihan itu nggak baik, termasuk ekspektasi berlebihan. Kalau ekspektasi
nggak kesampaian, saaaakkkkiiiittt~~ haaaatttiiikkuuu~ *kemudian nyanyi*
Ada beberapa contoh dari pengalaman pribadi saya tentang
cerita ekspektasi ini. Misalnya dulu udah punya rencana mau liburan ke
Malaysia, udah cerita ke mana-mana, ternyata dibatalin. Udah yakin bakal
keterima di yujiem karena di unpad yang relatif lebih susah seleksinya aja bisa
keterima, eh ternyata gagal. Udah janjian mau ketemuan di Jogja karena bakl
pulang, ternyata jadwal masuk kuliah dimajuin. Terus jatuh cinta sama si itu,
udah cerita ke mana-mana, digodain dan didoain orang lain jadi harapan makin
melambung ternyata pedhot ugha. Saaaakkkiiittt~~ haaattiiikuuu wooo uwooo~ ooooouuuwwoooo~ *kemudian nyanyi lagi*
Pas nulis ini tiba-tiba saya keinget salah satu prinsipnya
St. Ignatius Loyola (maklum, kebanyakan bergaul sama yesweet :P). Saya lupa
gimana persisnya kalimatnya, tapi intinya: ketika merasa senang (konsolasi)
ingat-ingatlah masa-masa sedih (desolasi), dan sebaliknya, ketika masa-masa
sedih (desolasi) ingat-ingatlah masa-masa senang (konsolasi).
Jadi kalau ada yang merasa sedih dan mau menyerah karena
skripsi ditolak mulu sama pembimbing, coba ingat momen menyenangkan dalam bikin
skripsi, misalnya ketika berhasil menemukan masalah penelitian, ketika revisian
di-acc, ketika pengambilan data selesai (contohnya konkret banget ya, maklum
masih mahasiswi, lagi belajar metode penelitian pula hahaha)
Atau ketika ada konflik besar sama pasangan dan rasanya
pengen pisah aja, coba diingat hal-hal yang membuat jatuh cinta, atau yang
membuat relasi semakin dekat.
Ketika liburan yang (puji Tuhaaan) cukup panjang akhir
2017-awal 2018 lalu, saya beberapa kali refleksi perjuangan di semester 1
kemarin, sambil tetap mengingat-ingat Jatinangor yang sedang saya tinggal untuk
berlibur di Jogja tercinta. Supaya nggak keenakan libur dan nggak lupa balik ke
Nangor gitu maksudnya hehe
Ketika kita mendapatkan hal yang kita inginkan, ingat juga betapa
menantangnya perjuangan untuk mendapatkan hal itu.
Bagi saya, refleksi-refleksi seperti ini sangat membantu untuk
menjaga saya untuk tidak larut pada kesedihan/kekesalan/kemarahan
berkepanjangan, maupun kesenangan berkepanjangan. Karena hidup itu konon
katanya seperti roda yang selalu berputar, kadang posisi kita ada di atas,
kadang posisi kita ada di bawah. Kadang kita hepi, kadang kita sedih. Tapi karena
roda itu terus berputar, maka kesedihan dan kebahagiaan kita tak ada yang
abadi~ *boleh dibaca sambil nyanyi*
Maka bagi saya, berbagi cerita baik cerita tentang hal
menyenangkan, maupun menyedihkan atau menyebalkan, dibarengi dengan
refleksi-refleksi ini sangat membantu untuk tetap realistis dan untuk menjaga
kewarasan.
Jatinangor, 28-02-2018
si bintang yang suka berbagi cerita meski aslinya pendiam dan pemalu (plis, percaya aja :p)
Kalau kata orang Bali, "Amongken Liange, Amonto Sebete."
BalasHapusIt's always nice to read your stories. Care to meet someday, Vania?
"Amongken Liange, Amonto Sebete", apa itu Mbak? :)
BalasHapussee you when I see you, Mbak Adisty!
Semacam petuah gitu. Artinya kurang lebih itu: seberapa besar kesenanganmu, sebesar itulah kesedihanmu
Hapus