Sekarang saya baru benar-benar percaya bahwa kuliah di
psikologi bikin saya makin mengenal diri saya dan merupakan salah satu metode “berobat
jalan” yang manjur. Saya sadar bahwa saya punya kebutuhan untuk merasa dibutuhkan. I feel
anxious when I feel that I am useless. Saya sadar bahwa saya takut ketika orang
tidak lagi memperhatikan saya, ketika ada orang lain yang saya rasa bisa
menggantikan posisi saya. Kemudian saya akan tidak menyukai orang itu, karena
saya jadi cemas ketika ada orang itu, bahkan sekedar membayangkannya. Di satu
sisi, hal itu adalah sesuatu yang wajar. Well, manusia memang selalu digerakkan
oleh kebutuhannya, begitu bukan, Om Murray? Tapi di sisi lain, saya merasa saya
nggak boleh melakukan itu. Saya nggak boleh su’udzon kayak gitu. Saya nggak
boleh benci orang itu, toh dia nggak salah apa-apa sama saya. Saya nggak boleh
merasa diri nggak berharga. Dan masih ada rentetan “saya nggak boleh” lainnya. Saya
sadar dan saya tahu kalau hal itu nggak boleh, setidaknya menurut saya. Alasannya
sederhana. Biar saya bikin dalam bentuk dialog supaya lebih gampang.
“Emang kenapa kamu nggak suka sama dia?”
“Soalnya dia narik perhatian orang-orang di sekitarku, yang biasanya merhatiin
aku.”
“Terus kenapa? Itu salah?”
“Ya enggak sih, tapi kan aku jadi nggak digagas,
nggak disapa, nggak diruhke”
“Terus kenapa?”
“Ya kan aku merasa nggak berharga…”
“Jadi itu yang ngerasa siapa?”
“A… aku…”
“Jadi dia itu salah nggak?”
“Mmmm… ya enggak sih… tapi………”
“Tapi kenapa?”
“Tapi aku tetep nggak suka sama dia!”
“Lah? Kenapa kamu nggak suka sama dia?”
“Soalnya … soalnya semua omongan sekarang jadi tentang dia!”
……………. #rauwisuwis
Saya sepenuhnya sadar bahwa ini masalahnya ada di saya
sendiri. But it’s not easy to be “calm” like that. Percayalah, kawan-kawan,
tidak semudah itu untuk bilang “semua kan baik-baik saja” pada orang yang
merasa itu sangat tidak baik-baik saja. Nggak mudah bagi saya untuk mencoba
mengenal satu orang, kalau perasaan saya masih nggak enak sama dia. Mirip lah
sama ketika kita bilang bahwa duren itu heavenly
yummy sama orang yang baru cium bau duren aja udah muntah. Mungkin hal ini
terdengar lebay dan nggak berperiketemanan. I’ve tried it, tapi yo ra gampang
bro.
Saya juga baru sadar bahwa mungkin inilah salah satu alasan utama kenapa saya selama ini sibuk sana sini. Saya golek kanca. Saya cari di mana saya lebih merasa bahwa saya lebih
dibutuhkan. Meski tampaknya nggak sangat baik motivasinya, tapi tampaknya ada
hal-hal baik dari motivasi ini. *nah lho defense* :p
Terus kowe arep piye
yen wis ngerti ngene? Ya, itulah PR saya. Itulah kenapa saya masih “berobat
jalan” dan belum lulus dari psikologi.
Emang kamu yakin bakal bisa “sembuh” dari hal ini? Well… I’m
not that sure. Karena yang namanya kebutuhan itu nggak bisa seratus persen
hilang, setau saya sih. Tapi kebutuhan itu bisa menjadi rendah dan mungkin tertutupi
dengan kebutuhan lain yang lebih tinggi. Menurut saya, kebutuhan itu juga
dipicu dengan tekanan tertentu, dan mungkin sekarang memang masanya saya menjadi
“lebih perempuan” dibanding biasanya, makanya kenapa hal “kecil” kayak gini
dibahas.
Yang bisa saya lakukan saat ini, untuk meringankan gejala
ini adalah “counter attack”. Saya berusaha meyakinkan diri saya sendiri bahwa
saya istimewa, saya berharga, saya nggak sendirian, saya adalah seseorang yang
punya nilai baik. Sekali lagi, bagi saya, ini bukanlah hal yang mudah, apalagi
di tengah ayunan (baca: mood swing) begini. Maka ketika ada seorang sahabat
yang tiba-tiba bilang, “Kalau butuh bantuan bilang ya, siapa tau saya bisa
bantu” tanpa saya kasih kode atau bilang apapun padanya, saya merasa terharu. I realized that I will never walk alone, even I feel like I’m the loneliest person in the world.
#lebayatun
Jujur, sampai ketika saya menulis postingan ini, saya masih
ragu mau mosting ini nggak ya. Saya cemas kalau nanti orang memandang saya
aneh. Saya cemas nanti teman-teman saya malah ninggalin saya setelah baca ini. Tapi
saya juga tahu bahwa saya perlu memberitahu orang lain tentang diri saya,
supaya relasi kita makin baik gitu coy. Saya juga percaya bahwa “mengorek luka”
dan mengakui diri adalah salah satu proses menjadi manusia yang lebih baik
lagi, secara khusus menjadi manusia yang lebih sehat mental.
so trueeeee! |
Hasil ngaca (baca: refleksi)
Quality time with myself
Sunday evening, 11-23-2014
*vania*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar