Tidak seperti kebanyakan anak SMA yang pertama-tama ingin mencoba menembus keberuntungan menjadi mahasiswa PTN, sejak awal saya sudah menetapkan satu pilihan: Universitas Sanata Dharma. Psikologi. Saya lupa persisnya mana yang lebih dulu saya pilih, universitasnya atau program studinya. Tapi satu yang saya ingat betul, 25 Oktober 2010, saya resmi diterima di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Salah satu hari bersejarah bagi saya.
Meski mantap dalam memilih, tapi saya gentar ketika menjelang hari “ospek” yang dikenal dengan Inisiasi Sanata Dharma (INSADHA). Ada kekhawatiran mengenai perlakuan dari senior, hukuman, dan hal-hal mengerikan lainnya. Namun, hal yang ternyata terjadi justru sebaliknya. INSADHA menyambut kami, para mahasiswa baru, dengan pelukan hangat, seolah hendak membuktikan penggalan syair hymne universitas, “Seluruh Sanata Dharma satu keluarga”.
Inisiasi yang penuh kekeluargaan juga saya rasakan dalam inisiasi fakultas, Akrab Psikologi atau AKSI. Dan setelah saya selama beberapa tahun menjalani hidup di USD, saya tahu satu hal yang mungkin bisa dijadikan alasan betapa kekeluargaan menjadi sangat penting di USD. Rektor pertama Sanata Dharma, Romo Nikolaus Driyarkara, SJ pernah mengungkapkan sebuah semboyan “homo homini socius”, atau “manusia adalah kawan bagi sesamanya”.
Tidak heran juga jika semboyan USD adalah “cerdas dan humanis”. Bukan hanya soal menjadi cerdas saja, tapi juga humanis. Humanisme yang cerdas. Ada keseimbangan di antara keduanya. Antara logika dan nurani. Rasio dan rasa.
Tidak lolos seleksi sebuah unit kegiatan fakultas membuat saya di semester pertama cukup puas menjadi mahasiswa golongan “kupu-kupu” (kuliah-pulang kuliah-pulang). Hampir setiap hari, saya berangkat dari rumah pukul 6 pagi dan pukul 2 siang saya sudah duduk manis di rumah lagi, serasa SMA. Namun seiring mengalirnya waktu, saya pernah menjadi mahasiswa golongan “kura-kura” (kuliah-rapat kuliah-rapat). Saya mengikuti berbagai kepanitiaan dan organisasi, salah satunya Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEMF) Psikologi 2013/2014 yang walaupun bekerja secara professional, tapi semangat kekeluargaan sangat kental terasa. Dalam rangka kepanitiaan dan organisasi, saya pun pernah jadi mahasiswa golongan “kuda-kuda” (kuliah-dagang kuliah-dagang) demi mencari dana untuk beberapa acara, dari mulai Ekaristi Kaum Muda (EKM), Psychology Festival (Psychofest) sampai bakti sosial. Tapi seperti layaknya mahasiswa pada umumnya dengan tugas yang bertumpuk, saya pun pernah menjadi mahasiswa golongan “kuper” (kuliah-perpus). Dan karena keseimbangan “cerdas” dan “humanis” tadi pun, saya pernah menjadi mahasiswa golongan “dara kuper” (dagang-rapat-kuliah-perpus) sekaligus. Masa-masa di mana saya jauh lebih sering menghabiskan waktu di kampus daripada di rumah.
Akan tetapi semua itu bukanlah masalah yang begitu berarti bagi saya secara pribadi. Sekali lagi, itu karena semangat kekeluargaan yang saya rasakan di USD. Dari Pak Gi, karyawan Biro Layanan Umum yang selalu ceria dan baik hati siap sedia membukakan akses lift pada para mahasiswa. Dari para outcore, mbak dan mas cleaning service yang siap sedia membantu angkut-angkut dan bersih-bersih. Juga dari Pak Pur, bagian keamanan, yang ramah. Dari teman-teman sesama mahasiswa dan bapak-ibu-romo-suster dosen serta karyawan. Dari Bu Dewi, wakaprodi Psikologi yang selalu siap sedia diajak berdiskusi dan datang ke acara-acara kemahasiswaan. Dari Mas Anton dan teman-teman Campus Ministry yang membuat “Indonesia mini” di USD makin terasa. Dari Pak Chosa dan teman-teman Service Learning Program (SLP), yang benar-benar menjadi keluarga karena kami bersama saat tinggal di negeri orang selama satu bulan sebagai delegasi dari USD. Juga dari Miss Tata, Mbak Risca dan teman-teman “geje” di Kantor Wakil Rektor IV yang lebih sering saya sebut “mabes”.
Semangat kekeluargaan yang saya rasakan di USD ini juga memacu saya untuk menyebarkan semangat yang sama ke semakin banyak orang, tidak hanya di sekitar USD. Menjadi lebih dan lebih lagi. Semangat magis. Selama hampir delapan semester di USD, saya sampai pada satu titik bahwa menjadi mahasiswa berarti bisa menemukan relevansi antara ilmu dan realita, bagaimana ilmu membantu kita melihat dan berusaha memecahkan permasalahan di kehidupan nyata, atau sebaliknya, bagaimana melihat realita berdasarkan kacamata ilmu. Itulah keseimbangan antara cerdas dan humanis.
Semoga di usia intannya ini, Sanata Dharma menjadi semakin bijaksana layaknya seorang kakek, selalu bersemangat layaknya orang muda, sekaligus penuh keingintahuan layaknya anak kecil. Semoga juga semangat kekeluargaan dan “menjadi kawan bagi sesama” makin terasa, baik di dalam maupun luar kampus. Selamat 60 tahun, Universitas Sanata Dharma! Ad Maiorem Dei Gloriam!
Meski mantap dalam memilih, tapi saya gentar ketika menjelang hari “ospek” yang dikenal dengan Inisiasi Sanata Dharma (INSADHA). Ada kekhawatiran mengenai perlakuan dari senior, hukuman, dan hal-hal mengerikan lainnya. Namun, hal yang ternyata terjadi justru sebaliknya. INSADHA menyambut kami, para mahasiswa baru, dengan pelukan hangat, seolah hendak membuktikan penggalan syair hymne universitas, “Seluruh Sanata Dharma satu keluarga”.
Inisiasi yang penuh kekeluargaan juga saya rasakan dalam inisiasi fakultas, Akrab Psikologi atau AKSI. Dan setelah saya selama beberapa tahun menjalani hidup di USD, saya tahu satu hal yang mungkin bisa dijadikan alasan betapa kekeluargaan menjadi sangat penting di USD. Rektor pertama Sanata Dharma, Romo Nikolaus Driyarkara, SJ pernah mengungkapkan sebuah semboyan “homo homini socius”, atau “manusia adalah kawan bagi sesamanya”.
Tidak heran juga jika semboyan USD adalah “cerdas dan humanis”. Bukan hanya soal menjadi cerdas saja, tapi juga humanis. Humanisme yang cerdas. Ada keseimbangan di antara keduanya. Antara logika dan nurani. Rasio dan rasa.
Tidak lolos seleksi sebuah unit kegiatan fakultas membuat saya di semester pertama cukup puas menjadi mahasiswa golongan “kupu-kupu” (kuliah-pulang kuliah-pulang). Hampir setiap hari, saya berangkat dari rumah pukul 6 pagi dan pukul 2 siang saya sudah duduk manis di rumah lagi, serasa SMA. Namun seiring mengalirnya waktu, saya pernah menjadi mahasiswa golongan “kura-kura” (kuliah-rapat kuliah-rapat). Saya mengikuti berbagai kepanitiaan dan organisasi, salah satunya Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEMF) Psikologi 2013/2014 yang walaupun bekerja secara professional, tapi semangat kekeluargaan sangat kental terasa. Dalam rangka kepanitiaan dan organisasi, saya pun pernah jadi mahasiswa golongan “kuda-kuda” (kuliah-dagang kuliah-dagang) demi mencari dana untuk beberapa acara, dari mulai Ekaristi Kaum Muda (EKM), Psychology Festival (Psychofest) sampai bakti sosial. Tapi seperti layaknya mahasiswa pada umumnya dengan tugas yang bertumpuk, saya pun pernah menjadi mahasiswa golongan “kuper” (kuliah-perpus). Dan karena keseimbangan “cerdas” dan “humanis” tadi pun, saya pernah menjadi mahasiswa golongan “dara kuper” (dagang-rapat-kuliah-perpus) sekaligus. Masa-masa di mana saya jauh lebih sering menghabiskan waktu di kampus daripada di rumah.
Akan tetapi semua itu bukanlah masalah yang begitu berarti bagi saya secara pribadi. Sekali lagi, itu karena semangat kekeluargaan yang saya rasakan di USD. Dari Pak Gi, karyawan Biro Layanan Umum yang selalu ceria dan baik hati siap sedia membukakan akses lift pada para mahasiswa. Dari para outcore, mbak dan mas cleaning service yang siap sedia membantu angkut-angkut dan bersih-bersih. Juga dari Pak Pur, bagian keamanan, yang ramah. Dari teman-teman sesama mahasiswa dan bapak-ibu-romo-suster dosen serta karyawan. Dari Bu Dewi, wakaprodi Psikologi yang selalu siap sedia diajak berdiskusi dan datang ke acara-acara kemahasiswaan. Dari Mas Anton dan teman-teman Campus Ministry yang membuat “Indonesia mini” di USD makin terasa. Dari Pak Chosa dan teman-teman Service Learning Program (SLP), yang benar-benar menjadi keluarga karena kami bersama saat tinggal di negeri orang selama satu bulan sebagai delegasi dari USD. Juga dari Miss Tata, Mbak Risca dan teman-teman “geje” di Kantor Wakil Rektor IV yang lebih sering saya sebut “mabes”.
Semangat kekeluargaan yang saya rasakan di USD ini juga memacu saya untuk menyebarkan semangat yang sama ke semakin banyak orang, tidak hanya di sekitar USD. Menjadi lebih dan lebih lagi. Semangat magis. Selama hampir delapan semester di USD, saya sampai pada satu titik bahwa menjadi mahasiswa berarti bisa menemukan relevansi antara ilmu dan realita, bagaimana ilmu membantu kita melihat dan berusaha memecahkan permasalahan di kehidupan nyata, atau sebaliknya, bagaimana melihat realita berdasarkan kacamata ilmu. Itulah keseimbangan antara cerdas dan humanis.
Semoga di usia intannya ini, Sanata Dharma menjadi semakin bijaksana layaknya seorang kakek, selalu bersemangat layaknya orang muda, sekaligus penuh keingintahuan layaknya anak kecil. Semoga juga semangat kekeluargaan dan “menjadi kawan bagi sesama” makin terasa, baik di dalam maupun luar kampus. Selamat 60 tahun, Universitas Sanata Dharma! Ad Maiorem Dei Gloriam!
baksos psikologi 2013 "Ibu Cerdas, Keluarga Bahagia" |
baksos psikologi 2014 (Psycho-Care) "I Know Who I Am, I Know My Passion, I Can Determine My Future" |
Rabu, 28 Januari 2015
meramaikan #60tahunUSD
Stella Vania Puspitasari (on the way to S.Psi.)
meramaikan #60tahunUSD
Stella Vania Puspitasari (on the way to S.Psi.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar