sudah lebih dari satu bulan situasi dan kondisi berubah sedemikian rupa karena pandemi covid-19. aku inget betul, acara terakhir yang aku datangi adalah workshop Ignite: mastering the art of group dynamics, tanggal 15 Maret 2020. hari itu, situasi udah serba cemas dan hand sanitizer serta cuci tangan jadi hal yang wajib, meski belum harus ke mana-mana pakai masker. sorenya, pemerintah mulai mengimbau masyarakat untuk bekerja, belajar, dan beribadah di rumah. Senin, 16 Maret 2020 aku masih keluar kos untuk minta tanda tangan dosen (cuma 5 menit ketemunya!) dan belanja, beberapa instansi, termasuk kampusku, sudah mengeluarkan edaran resmi untuk menghentikan segala kegiatan yang mengumpulkan orang banyak.
di hari Minggu itu, aku mendapat gambar entah dari grup mana, tulisannya adalah "jangan mudik!" mungkin karena tulisan itu, dan beberapa pertimbangan lain, disposisi batinku sejak awal memilih untuk tetap bertahan di Bandung. salah satu pertimbanganku yang utama adalah kekhawatiran kalau aku menjadi inang dari virus ini dan menularkan pada orang lain. apalagi tanggal 15 Maret itu aku berkumpul dengan lebih dari 50 orang dan berinteraksi dengan cukup dekat, meski sudah ada beberapa protokol seperti menggunakan hand sanitizer. selain itu, aku juga kepikiran tesis, soalnya hari-hari itu aku lagi penjaringan subjek dan pengambilan data. aku masih berpikir ada hal-hal yang bisa kulakukan di Bandung terkait tesisku.
seminggu pertama, aku merasa diri ikut panik dengan situasi yang terjadi, dengan segala perubahan yang terpaksa harus dijalani. aku seakan-akan menjadikan diriku sebagai semacam "pusat informasi" untuk siapapun. berita dari satu grup akan dengan segera kuteruskan ke grup lain, begitu juga lintas medsos. hampir seluruh waktuku habis oleh mencari informasi, memvalidasinya, membagikannya. maklum, di minggu pertama ini begitu buanyaaakkk hoaks yang bersliweran, dan kepanikan di mana-mana. seminggu pertama, aku juga berusaha membuat beberapa tulisan dan kampanye sederhana untuk tetap saling menyapa dan melakukan hal-hal kecil demi kesehatan mental diri sendiri dan orang lain, lewat #LittleRandomAct. terlalu sibuk sama urusan per-covid-an ini, aku jadi enggak mikirin tesisku sendiri seminggu pertama.
memasuki minggu kedua, aku mulai overwhelmed dengan banyaknya informasi dan mulai "sadar" untuk mikirin tesis lagi. minggu kedua ini adalah fase aku mulai putus asa dan rasanya pengen lulus tanpa tesis aja. huhuhu. mulai pesimis bisa lulus enggak (sesuai target), mulai khawatir dan merasa bersalah kalau (amit-amit) nanti harus nambah satu semester dan bayar lagi. perasaan putus asa itu masih berlanjut di minggu ketiga. aku juga mulai mempertanyakan, apakah keputusanku untuk tetap tinggal di Bandung dan enggak mudik ke Jogja itu adalah keputusan yang tepat dan terbaik. apalagi beberapa teman juga sudah mudik, dan bertanya apakah aku enggak mudik. semakin galau lah aku. padahal sejak minggu pertama, mama dan papa tampaknya memang lebih ingin aku dan kakak tetap di tempat kami masing-masing dan enggak balik ke Jogja karena terlalu riskan. terlebih kondisi papa (dan mama juga sebenarnya) yang punya beberapa penyakit bawaan. demi meminimalisir penularan, kami pun di kos aja.
minggu ketiga dan minggu keempat, yang berbarengan sama pekan suci, aku mulai agak lebih tenang dan makin mantap di kos aja. perasaanku campur aduk sebenarnya. tentu ada perasaan kesepian, sedih, khawatir, tapi di sisi lain juga ada perasaan lega dan syukur karena begitu banyak "previlege" yang aku punya, di tengah berbagai keterbatasan. beberapa sahabat berbagi berkat dan mengirimiku makanan, minuman, masker, kaus, buku sebagai bentuk #LittleRandomAct mereka. ketika aku merasa enggak baik-baik saja, aku juga berbagi dengan beberapa sahabat. salah satu kalimat yang paling kuingat dan paling menguatkanku kurang lebih begini: keputusan sudah dibuat, dijalani. kalau misalnya keputusan itu keliru, Tuhan akan membantumu menemukan yang lebih tepat. di podkes Setiap Jumat, Romo Magniz juga berkata untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan. ini juga menguatkanku di tengah kegalauan tak berujung di minggu ketiga menjelang Minggu Palma.
Paskah 2020 ini beda banget levelnya. berasa banget kedaruratannya. ini adalah Paskah pertama, dan semoga yang terakhir, di mana kita enggak bisa ke gereja. aku cuma misa di kamar kos sendiri, dengan meja altar darurat dan kasur sebagai bekgron. di sisi lain pengalaman ini aku syukuri banget, karena aku merasa sungguh-sungguh menghayati dan memaknai paskah itu sendiri. sebuah keluarga sahabat menawariku untuk misa malam paskah bersama di rumah mereka, tapi aku terlalu sungkan untuk mengiyakan, dan terlalu malu karena aku memprediksi aku akan menangis heboh sepanjang misa. betul saja, aku sesenggukan sepanjang misa, bahkan setelah misa pun masih nangis. dasar aku cengeng sih. hehe.
secara fisik, aku memang sendiri di kamar kos ini. kos yang harusnya buat 25 orang ini pun cuma tinggal 3 orang plus keluarga yang jaga kos. tapi kehadiran keluarga dan sahabat secara virtual sungguh menguatkan dan membuatku enggak merasa benar-benar sendiri. aku pun membuat satu hestek lagi #berkatkorona untuk merenungkan hal-hal baik yang kurasakan di tengah pandemi. aku jadi sering banget video call sama mama, papa, dan kakak. selain itu, keluarga Esnawan juga beberapa kali vidcon, seru! aku juga jadi nyiapin makanan sendiri, bikin macem-macem eksperimen di dapur, termasuk masak nasi pakai panci dan dandang. beberapa life skills jadi terpaksa dipelajari di tengah pandemi, syukurlah.
di tengah perasaan kesepian, kehampaan, kebosanan karena karantina, setidaknya aku tidak (terlalu) merasa sendiri, karena mungkin hampir semua orang di seluruh dunia mengalami hal serupa. maka sekecil apapun, aku berusaha berbagi dengan siapapun. sesederhana berbagi informasi yang akurat, menyapa, sampai menyumbang makanan atau uang. inilah yang aku sebut sebagai #LittleRandomAct. semoga hal-hal kecil yang kita lakukan selalu dilandasi kasih yang besar. horeluya!
20 April 2020 (eh, tanggalnya bagus)
dari kamar kos di Bandung,
sahambat