selain cerita si bintang

23 November 2014

a little note when I'm growing

Sekarang saya baru benar-benar percaya bahwa kuliah di psikologi bikin saya makin mengenal diri saya dan merupakan salah satu metode “berobat jalan” yang manjur. Saya sadar bahwa saya punya kebutuhan untuk merasa dibutuhkan. I feel anxious when I feel that I am useless. Saya sadar bahwa saya takut ketika orang tidak lagi memperhatikan saya, ketika ada orang lain yang saya rasa bisa menggantikan posisi saya. Kemudian saya akan tidak menyukai orang itu, karena saya jadi cemas ketika ada orang itu, bahkan sekedar membayangkannya. Di satu sisi, hal itu adalah sesuatu yang wajar. Well, manusia memang selalu digerakkan oleh kebutuhannya, begitu bukan, Om Murray? Tapi di sisi lain, saya merasa saya nggak boleh melakukan itu. Saya nggak boleh su’udzon kayak gitu. Saya nggak boleh benci orang itu, toh dia nggak salah apa-apa sama saya. Saya nggak boleh merasa diri nggak berharga. Dan masih ada rentetan “saya nggak boleh” lainnya. Saya sadar dan saya tahu kalau hal itu nggak boleh, setidaknya menurut saya. Alasannya sederhana. Biar saya bikin dalam bentuk dialog supaya lebih gampang.

“Emang kenapa kamu nggak suka sama dia?”
“Soalnya dia narik perhatian orang-orang di sekitarku, yang biasanya merhatiin aku.”
“Terus kenapa? Itu salah?”
“Ya enggak sih, tapi kan aku jadi nggak digagas, nggak disapa, nggak diruhke
“Terus kenapa?”
“Ya kan aku merasa nggak berharga…”
“Jadi itu yang ngerasa siapa?”
“A… aku…”
“Jadi dia itu salah nggak?”
“Mmmm… ya enggak sih… tapi………”
“Tapi kenapa?”
“Tapi aku tetep nggak suka sama dia!”
“Lah? Kenapa kamu nggak suka sama dia?”
“Soalnya … soalnya semua omongan sekarang jadi tentang dia!”
……………. #rauwisuwis


Saya sepenuhnya sadar bahwa ini masalahnya ada di saya sendiri. But it’s not easy to be “calm” like that. Percayalah, kawan-kawan, tidak semudah itu untuk bilang “semua kan baik-baik saja” pada orang yang merasa itu sangat tidak baik-baik saja. Nggak mudah bagi saya untuk mencoba mengenal satu orang, kalau perasaan saya masih nggak enak sama dia. Mirip lah sama ketika kita bilang bahwa duren itu heavenly yummy sama orang yang baru cium bau duren aja udah muntah. Mungkin hal ini terdengar lebay dan nggak berperiketemanan. I’ve tried it, tapi yo ra gampang bro.

Saya juga baru sadar bahwa mungkin inilah salah satu alasan utama kenapa saya selama ini sibuk sana sini. Saya golek kanca. Saya cari di mana saya lebih merasa bahwa saya lebih dibutuhkan. Meski tampaknya nggak sangat baik motivasinya, tapi tampaknya ada hal-hal baik dari motivasi ini. *nah lho defense* :p

Terus kowe arep piye yen wis ngerti ngene? Ya, itulah PR saya. Itulah kenapa saya masih “berobat jalan” dan belum lulus dari psikologi.
Emang kamu yakin bakal bisa “sembuh” dari hal ini? Well… I’m not that sure. Karena yang namanya kebutuhan itu nggak bisa seratus persen hilang, setau saya sih. Tapi kebutuhan itu bisa menjadi rendah dan mungkin tertutupi dengan kebutuhan lain yang lebih tinggi. Menurut saya, kebutuhan itu juga dipicu dengan tekanan tertentu, dan mungkin sekarang memang masanya saya menjadi “lebih perempuan” dibanding biasanya, makanya kenapa hal “kecil” kayak gini dibahas.

Yang bisa saya lakukan saat ini, untuk meringankan gejala ini adalah “counter attack”. Saya berusaha meyakinkan diri saya sendiri bahwa saya istimewa, saya berharga, saya nggak sendirian, saya adalah seseorang yang punya nilai baik. Sekali lagi, bagi saya, ini bukanlah hal yang mudah, apalagi di tengah ayunan (baca: mood swing) begini. Maka ketika ada seorang sahabat yang tiba-tiba bilang, “Kalau butuh bantuan bilang ya, siapa tau saya bisa bantu” tanpa saya kasih kode atau bilang apapun padanya, saya merasa terharu. I realized that I will never walk alone, even I feel like I’m the loneliest person in the world. #lebayatun

Jujur, sampai ketika saya menulis postingan ini, saya masih ragu mau mosting ini nggak ya. Saya cemas kalau nanti orang memandang saya aneh. Saya cemas nanti teman-teman saya malah ninggalin saya setelah baca ini. Tapi saya juga tahu bahwa saya perlu memberitahu orang lain tentang diri saya, supaya relasi kita makin baik gitu coy. Saya juga percaya bahwa “mengorek luka” dan mengakui diri adalah salah satu proses menjadi manusia yang lebih baik lagi, secara khusus menjadi manusia yang lebih sehat mental.
 
*berdoa*

so trueeeee!



Hasil ngaca (baca: refleksi)
Quality time with myself
Sunday evening, 11-23-2014


*vania*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar