selain cerita si bintang

17 Agustus 2015

love begins at home

Dirgahayu Indonesia! Merdeka! 

Setelah tahun lalu saya merayakan hari kemerdekaan di Filipina karena masih mengikuti SLP, tahun ini saya sebenarnya berencana 17an di negara tetangga, Malaysia, bersama keluarga. Tapi rencana itu dibatalkan di H-1, karena kuota orang yang akan ikut rombongan kami terlalu sedikit. Saya kagol dan jengkel banget. 

Kebetulan, weekend ini, tante-tante dari Jakarta datang. Kakak pun tetep pulang ke Jogja. Maka jadilah long weekend ini diisi dengan kumpul keluarga yang nggak cuma berempat aja.

Nonton Running Man dan (film) Dragon Ball bareng kakak, just like few years ago.
Jalan-jalan ke Amplaz berempat, eh berenam dink, sama OKH dan Jojo.
Makan malam di Honje resto bareng Tante Leni-OKB-Albert, Tante Mari, OKH dan mama-papa-kakak, sekaligus bisa "foto sama tugu" tanpa harus "foto di tugu".
Makan siang bareng para krucil sambil ngerayain ulang tahun papa, Kak Marcel dan Hugo.

Di akhir hari ini, saya sedikit banyak bersyukur karena batal ke Malaysia, meski tetep ada sedikit rasa kecewa sih. Tapi untung saya batal pergi, karena saya jadi bisa kumpul sama keluarga di Jogja. Dari pengalaman beberapa hari ini, ada beberapa hal yang saya pelajari.

Bahwa soal "dengan siapa" seringkali lebih bermakna daripada soal "di mana".
Bahwa tawa, canda dan kebahagiaan seringkali tidak perlu kita cari jauh-jauh.
Bahwa keluarga dan rumah bisa menjadi obat bagi luka.
Bahwa syair lagu Keluarga Cemara benar adanya: harta paling berharga, istana paling indah, mutiara tiada tara, puisi yang paling bermakna adalah keluarga.
Bahwa benar apa kata Bunda Teresa: "love begins at home".

Selamat ulang tahun ke 60, Papa!
Selamat ulang tahun ke 33, Kak Marcel!
Selamat ulang tahun ke 3, Hugo!
Semoga selalu dilimpahi berkat dari Tuhan yang Maha Keren!



Yogyakarta, 17 Agustus 2015

Stella Vania Puspitasari

16 Juli 2015

in the middle of July

"Have you feel regret because you trusted me?"
"Hmm... It's impossible if I don't feel regret. But if I look myself back before I know you, I think I learned and grew a lot.. And I think I have to be grateful than to feel regret.. You're still my best friend, and I'm so grateful.."
"Hehehe okay.. You're also my best friend.."
"Last chat before you're going to your holiday, I think I would lose my best friend..."
"Yeah, I think so.."
"Well, thanks for coming back as my best, today" :")



On a midnight in the middle of July,
si bintang 



Ps: I'm not sure about my English.. If there are some mistakes, please feel free to correct me :D






11 Mei 2015

Mendadak Jokpin

Nama Joko Pinurbo alias Jokpin mungkin sudah sering didengar. Tapi saya, jujur saja, nggak tahu persis siapa sih Joko Pinurbo. Sekitar bulan Februari lalu, Mas Gigih ngajak saya ngobrol tentang Conversar Arrupe yang rencananya akan mengundang beberapa alumni USD, termasuk Jokpin. Sejak itu saya pun mencari tahu tentang Jokpin, mengkepo Twitter dan blog beliau, juga membaca hasil wawancara dengan beliau. 

Meski sudah berusaha mengkepo, tapi tampaknya Jokpin adalah sosok yang "misterius". Di suatu Jumat siang yang cerah, saya pun berusaha mencari beliau di Ndalem Tejokusuman, sebuah tempat yang katanya menjadi salah satu tempat nongkrong Jokpin (thanks, Mas Cahyo dan Mas Tama!). Kami nggak ada yang tahu letak Ndalem Tejokusuman. Setelah nyasar dan tanya beberapa kali, akhirnya kami sampai di Ndalem Tejokusuman. Tapi ternyata di sana sepi banget! Ternyata Jokpin nggak setiap hari ke sana, dan nggak bisa diprediksi kapan beliau akan ke sana. Akhirnya kami dikasih tau untuk cari Jokpin di kantor Kompas di Kotabaru, tapi sampai di sana kami pun nggak berhasil menemukan Jokpin. Terus saya coba cari kontak beliau tapi nggak nemu, walau saya udah tanya ke temen yang kerja di Kompas (thanks Kak Mahatma!). 

Beberapa hari kemudian ada info kalo ada acara yang ngundang Jokpin, malam puisi gitu deh, di Indiecology. Dengan semangat 45 saya mengajak dua teman untuk nongkrong sekaligus harap harap cemas bisa ketemu Jokpin (thanks, Masbro dan Tertos!). Sayang seribu sayang, Jokpin nggak ada :( 

Meski gitu, di Indiecology itu saya dapet buku antologi puisi (meski kayaknya nggak resmi), dan saya jatuh cinta sama satu puisi Jokpin berjudul Kamus Kecil. Sejak dari Indiecology itu saya bertekad kudu ketemu Jokpin, mbuh piye cara'ne, biar nggak jadi arwah penasaran :")

Setelah tetep nggak dapet kontaknya Jokpin, saya pun bingung dan mulai agak desperate. Eh tiba-tiba Mas Gigih ngasih tau kalo Jokpin balas DMnya di Twitter dan ngasih nomor hape plus emailnya. Ternyata, hal-hal yang tampaknya nggak mungkin justru bisa jadi jawaban. Dan ternyata lagi, sometimes the answer is the simplest one. 

Setelah saya SMS, ternyata langsung dibalas dan Jokpin langsung mau jadi pembicara di Conversar Arrupe edisi kedua. Sayangnya, pas Jokpin ada acara di Dongeng Kopi, saya nggak bisa dateng dan nemuin beliau. Tapi bayangan mau ketemu Jokpin aja udah bikin saya hepi. 

Beberapa hari sebelum Conversar Arrupe, saya dikagetkan oleh sebuah notifikasi di Twitter. Katanya, Jokpin ngefollow Twitter saya. Oh my God! Piye perasaanmu yen difollow idola? :")

Pas hari H pelaksanaan Conversar Arrupe, saya deg-degan (hehe). Akhirnya Jokpin dateng juga. Yang bikin makin hepi, ternyata apa yang beliau sampaikan sangat menarik dan ngasih pelajaran berharga juga. Beliau bilang kalau jalan kepenyairan yang beliau pilih adalah jalan sunyi yang harus dihadapi, dan cuma orang-orang tangguh yang bisa melalui jalan sunyi seperti itu. Meski beliau sudah tergolong sepuh, tapi beliau sangat ngenomi, terutama dalam hal bahasa. 

Ketika acara belum mulai, saya sudah bilang ke Mas Cahyo, pokoknya nanti saya mau foto bareng sama Jokpin berdua aja, dan I did that. 

Selamat ulang tahun, Joko Pinurbo, "saudara kembar" beda 31 tahun.. Terima kasih sudah 'menyentil' dan 'mengingatkan' saya (lewat suatu puisi) bahwa "seorang bintang harus tahan banting".. Semoga njenengan sehat selalu dan terus berkarya. Tuhan yang Maha Unyu selalu memberkati njenengan, Pak! :)





Bandung, 11 Mei 2015

si bintang

25 April 2015

Anak “Luar Negeri”

Sejak TK sampai dengan saat ini, saya belum pernah mencicipi pendidikan resmi di sekolah negeri. Saya selalu bersekolah di sekolah “luar negeri” alias sekolah swasta. Entah kenapa orangtua saya nggak pernah masukin saya ke sekolah negeri, dan saya juga nggak milih mau masuk sekolah negeri, mungkin karena kebiasaan.

Di masa kuliah ini, saya benar-benar menjadi anak “luar negeri”. Bukan, saya bukan kuliah di luar negeri. Saya cuma nunut urip di negeri orang selama sebulan. KKN alternatif gitu deh. Program ini namanya Service Learning Program (SLP). Saya dan empat teman beserta satu dosen menjadi delegasi USD untuk program ini pada Agustus 2014.

we are Indonesian delegates!
Pak Chosa - Bagas - Indri - Enno - Vania - Adhi
Bagi saya, ikut SLP adalah iseng-iseng berhadiah. Dulu di semester awal saya memang sempat “mupeng” (mupeng: muka pengen) ikut SLP kayak Mbak Achi, yang sharing pas Insadha, dan Mas Putra, yang saya dengar kisahnya di semester tiga. Tapi setelah itu saya lupa.

Akhir 2013, beberapa teman diajak bergabung ke kepanitiaan SALT, post-project SLP 2013. Saya tahu, tapi saya juga nggak mengajukan diri buat ikut. Saya juga nggak datang sosialisasi program SLP. Bahkan, saya nitip minta tolong diambilin formulir pendaftaran SLP ke seorang teman saya. Ngumpul formulir yang udah diisi ke kantor WR IV pun saya nebeng teman saya itu (thanks, Retha!). Nah, ketika akhirnya saya keterima, saya kaget dan nggak percaya. Maklum lah, waktu wawancara seleksi saya bahkan sampai tiga kali bilang, “Sorry, my English is so bad". Tiga kali lho sodara-sodara. Tiga kali!!! *diulang biar dramatis* 

Pertemuan demi pertemuan dilakukan, dan ke-geje-an (geje: nggak jelas) nggak pernah absen dari tiap pertemuan kami. Dari mulai perkenalan, mengisi form pendaftaran, bahas tiket dan visa, pembekalan, bahas pre-project sampai pelaksanaannya, bahas segala macam persiapan keberangkatan, latihan cultural performance, bikin university presentation, sampai keberangkatan ke Cagayan de Oro, Filipina dan hidup sebulan di city of golden friendship itu. Ketika pulang dari Filipina pun kami masih dihadapkan pada post-project. Baru bulan Februari lalu kami resmi dinyatakan sebagai alumni SLP. Bahkan setelah kami alumni dan kumpul lagi, kami pun masih tetap "geje" hehehe...

Bagi saya pribadi, banyak sekali pelajaran yang saya dapat. Banyak “first thing” yang saya alami selama hampir setahun menjalani SLP. Pertama kali wawancara pakai bahasa Inggris. Pertama kali ke daerah Jogokariyan. Pertama kali mungutin sampah di seputaran UGM. Di SLP ini juga, pertama kalinya saya nggak langsung “kabur” setelah pertemuan, tapi memilih untuk menghabiskan quality time bareng teman-teman, entar sekedar makan atau makan plus cerita-cerita sampai lamaaaa banget. Pertama kalinya saya nongki-nongki di indiecology, prada, bittersweet, LUK, kedai oak, makan di Annisa, warung se’i, babi lissa *kemudian melirik ke perut yang bergelambir*

Bagi keempat teman saya, ini adalah pertama kalinya mereka ke luar negeri. Ini pertama kalinya juga bagi saya ke luar negeri sendirian. Dalam penerbangan Jakarta-Manila, pertama kalinya saya ngicipin red wine *cie gaya* dalam penerbangan internesyenel itu, saya terkagum-kagum *ndeso*

Menginjakkan kaki di Cagayan de Oro, pengalaman "geje" pun tidak lepas dari kami, koper seorang teman ketinggalan di Manila. Untuk pertama kalinya saya tinggal serumah dan sekamar dengan orang-orang dari Jepang, Korea dan Filipina. Pertama kalinya saya nyuci baju pakai tangan *ini serius, saya memang cewek gagal*. Pertama kalinya saya belajar bahasa Bisaya, yang bahkan sebelumnya saya nggak tahu kalau ada bahasa itu. Pertama kalinya saya sarapan dengan menu ati dan pare, padahal dua-duanya saya nggak doyan, tapi ya harus tetap makan. Pertama kalinya saya naik jeepney dan motorela, and I miss them. Pertama kalinya saya main zipline (semacam flying fox), snorkeling dan rafting. Pertama kalinya saya lihat teman saya (agak) mabuk. Pertama kalinya saya tahu bahwa “gratis” adalah kesukaan semua orang, nggak cuma orang Indonesia. Pertama kalinya saya lihat babi panggang utuh, oh my I really miss lechon. Pertama kalinya saya makan pakai tangan dan dikagumi teman dari Jepang, bahkan diminta ngajari mereka *lucu tenan iki*

Pertama kalinya saya “ngrasani” orang dengan bebas, bahkan sambil teriak-teriak, pakai bahasa Indonesia dan bahasa Jawa HAHA. Pertama kalinya saya dan teman-teman tampil (semacam) nari dengan super "geje" hehehe. Pertama kalinya jalan-jalan di mall bareng teman-teman dari berbagai negara, saya doang orang Indonesia, terus ada dua teman dari Jepang hilang terus kita halo-halo dari bagian informasi HAHA. Pertama kalinya tau lagu “dolanan” dari Jepang. Pertama kalinya ngajakin anak-anak SD meditasi *luar biasa ya...* dan pertama kalinya ngajak ibu-ibu main ice breaking, mandunya pakai bahasa Inggris pula.

ngajakin ibu-ibu pijet-pijetan :p
Ketika post-project, pertama kalinya saya mungutin rokok di kantin Mrican dan Paingan. Pertama kalinya saya ngurusin desain dan cetak poster dan stiker *maklum, nggak pernah jadi pubdekdok selama ikut kepanitiaan*. Pertama kalinya ngobrol sama pak rektor, bahkan becanda dengan beliau.

Sekarang setelah beberapa bulan resmi menjadi alumni SLP, saya baru menyadari beberapa hal yang berubah dalam diri saya. Yang jelas, saya agak sedikit lebih pede (pede: percaya diri) dengan bahasa Inggris saya. Ya walau masih belum jago-jago amat, tapi saya merasa ada peningkatan lah. Ya gimana enggak, lha sebulan kudu ngomong pakai bahasa Inggris terus je…

Selain itu, ada beberapa skill saya yang meningkat, misalnya mencuci baju dan angkat beban. Angkat beban ini maksudnya ketika saya dan teman-teman berangkat maupun pulang, saya mengangkat sendiri koper saya yang beratnya sekitar 17 kg itu *aku setrong*. Saya selalu ingat wanti-wanti dari Ms. Tata sebelum kami berangkat. Katanya, sebisa mungkin kita harus bertanggung jawab atas diri kita sendiri, jangan menggantungkan diri sama orang lain, jangan ngerepotin orang lain.

Satu perubahan lain yang saya temukan akhir-akhir ini adalah saya merasa menjadi orang yang lebih santai meski dalam keseriusan. Dulu saya orangnya sangat serius, saklek, dan nggak terlalu menyenangkan dalam hal relasi *pasti ada yang ngangguk-ngangguk atau senyum-senyum sendiri baca bagian ini*. Tapi karena sering bergaul dengan makhluk-makhluk "geje" entah apa di SLP ini, saya jadi lebih suka gojeg dan berusaha untuk bikin suasana jadi lebih segar. :)

Nggak kerasa, SLP 2015 is coming! Pendaftaran udah dibuka lagi dan udah banyak yang tanya-tanya tentang SLP. Yakin deh, nggak akan rugi ikut SLP! Banyak bangeeet hal yang bakal didapat, yang mungkin efeknya baru kerasa setelah sekian lama menjalani SLP itu. Nggak pede sama kemampuan bahasa Inggris? Nggak masalah! Saya ini saksi hidup betapa bahasa Inggris saya kacau balau, tapi toh tetap lolos dan survive. Kalau memang kamu pengen nyoba, coba lah! Nothing to lose. Kesempatan nggak dateng dua kali lho. Daripada besok penasaran, mendingan dicoba aja sekarang.


Ditunggu yaaa! See you, SLPers batch 8! :D

SLPers batch 7 :)

setelah "reuni" di ulang tahun Pak Chosa,
anak "luar negeri",
one of SLPers batch 7,

Stella Vania Puspitasari

28 Januari 2015

60 Th Sanata Dharma: Keseimbangan Cerdas dan Humanis

Tidak seperti kebanyakan anak SMA yang pertama-tama ingin mencoba menembus keberuntungan menjadi mahasiswa PTN, sejak awal saya sudah menetapkan satu pilihan: Universitas Sanata Dharma. Psikologi. Saya lupa persisnya mana yang lebih dulu saya pilih, universitasnya atau program studinya. Tapi satu yang saya ingat betul, 25 Oktober 2010, saya resmi diterima di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Salah satu hari bersejarah bagi saya.

Meski mantap dalam memilih, tapi saya gentar ketika menjelang hari “ospek” yang dikenal dengan Inisiasi Sanata Dharma (INSADHA). Ada kekhawatiran mengenai perlakuan dari senior, hukuman, dan hal-hal mengerikan lainnya. Namun, hal yang ternyata terjadi justru sebaliknya. INSADHA menyambut kami, para mahasiswa baru, dengan pelukan hangat, seolah hendak membuktikan penggalan syair hymne universitas, “Seluruh Sanata Dharma satu keluarga”.

Inisiasi yang penuh kekeluargaan juga saya rasakan dalam inisiasi fakultas, Akrab Psikologi atau AKSI. Dan setelah saya selama beberapa tahun menjalani hidup di USD, saya tahu satu hal yang mungkin bisa dijadikan alasan betapa kekeluargaan menjadi sangat penting di USD. Rektor pertama Sanata Dharma, Romo Nikolaus Driyarkara, SJ pernah mengungkapkan sebuah semboyan “homo homini socius”, atau “manusia adalah kawan bagi sesamanya”.

Tidak heran juga jika semboyan USD adalah “cerdas dan humanis”. Bukan hanya soal menjadi cerdas saja, tapi juga humanis. Humanisme yang cerdas. Ada keseimbangan di antara keduanya. Antara logika dan nurani. Rasio dan rasa.

Tidak lolos seleksi sebuah unit kegiatan fakultas membuat saya di semester pertama cukup puas menjadi mahasiswa golongan “kupu-kupu” (kuliah-pulang kuliah-pulang). Hampir setiap hari, saya berangkat dari rumah pukul 6 pagi dan pukul 2 siang saya sudah duduk manis di rumah lagi, serasa SMA. Namun seiring mengalirnya waktu, saya pernah menjadi mahasiswa golongan “kura-kura” (kuliah-rapat kuliah-rapat). Saya mengikuti berbagai kepanitiaan dan organisasi, salah satunya Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEMF) Psikologi 2013/2014 yang walaupun bekerja secara professional, tapi semangat kekeluargaan sangat kental terasa. Dalam rangka kepanitiaan dan organisasi, saya pun pernah jadi mahasiswa golongan “kuda-kuda” (kuliah-dagang kuliah-dagang) demi mencari dana untuk beberapa acara, dari mulai Ekaristi Kaum Muda (EKM), Psychology Festival (Psychofest) sampai bakti sosial. Tapi seperti layaknya mahasiswa pada umumnya dengan tugas yang bertumpuk, saya pun pernah menjadi mahasiswa golongan “kuper” (kuliah-perpus). Dan karena keseimbangan “cerdas” dan “humanis” tadi pun, saya pernah menjadi mahasiswa golongan “dara kuper” (dagang-rapat-kuliah-perpus) sekaligus. Masa-masa di mana saya jauh lebih sering menghabiskan waktu di kampus daripada di rumah.

Akan tetapi semua itu bukanlah masalah yang begitu berarti bagi saya secara pribadi. Sekali lagi, itu karena semangat kekeluargaan yang saya rasakan di USD. Dari Pak Gi, karyawan Biro Layanan Umum yang selalu ceria dan baik hati siap sedia membukakan akses lift pada para mahasiswa. Dari para outcore, mbak dan mas cleaning service yang siap sedia membantu angkut-angkut dan bersih-bersih. Juga dari Pak Pur, bagian keamanan, yang ramah. Dari teman-teman sesama mahasiswa dan bapak-ibu-romo-suster dosen serta karyawan. Dari Bu Dewi, wakaprodi Psikologi yang selalu siap sedia diajak berdiskusi dan datang ke acara-acara kemahasiswaan. Dari Mas Anton dan teman-teman Campus Ministry yang membuat “Indonesia mini” di USD makin terasa. Dari Pak Chosa dan teman-teman Service Learning Program (SLP), yang benar-benar menjadi keluarga karena kami bersama saat tinggal di negeri orang selama satu bulan sebagai delegasi dari USD. Juga dari Miss Tata, Mbak Risca dan teman-teman “geje” di Kantor Wakil Rektor IV yang lebih sering saya sebut “mabes”.

Semangat kekeluargaan yang saya rasakan di USD ini juga memacu saya untuk menyebarkan semangat yang sama ke semakin banyak orang, tidak hanya di sekitar USD. Menjadi lebih dan lebih lagi. Semangat magis. Selama hampir delapan semester di USD, saya sampai pada satu titik bahwa menjadi mahasiswa berarti bisa menemukan relevansi antara ilmu dan realita, bagaimana ilmu membantu kita melihat dan berusaha memecahkan permasalahan di kehidupan nyata, atau sebaliknya, bagaimana melihat realita berdasarkan kacamata ilmu. Itulah keseimbangan antara cerdas dan humanis.

Semoga di usia intannya ini, Sanata Dharma menjadi semakin bijaksana layaknya seorang kakek, selalu bersemangat layaknya orang muda, sekaligus penuh keingintahuan layaknya anak kecil. Semoga juga semangat kekeluargaan dan “menjadi kawan bagi sesama” makin terasa, baik di dalam maupun luar kampus. Selamat 60 tahun, Universitas Sanata Dharma! Ad Maiorem Dei Gloriam!
baksos psikologi 2013
"Ibu Cerdas, Keluarga Bahagia"
baksos psikologi 2014 (Psycho-Care)
"I Know Who I Am, I Know My Passion, I Can Determine My Future"

Rabu, 28 Januari 2015
meramaikan #60tahunUSD

Stella Vania Puspitasari (on the way to S.Psi.)

(ps: tulisan yang sama juga dimuat di web Campus Ministry USD)