selain cerita si bintang

20 April 2020

(tak) sendiri di tengah pandemi

sudah lebih dari satu bulan situasi dan kondisi berubah sedemikian rupa karena pandemi covid-19. aku inget betul, acara terakhir yang aku datangi adalah workshop Ignite: mastering the art of group dynamics, tanggal 15 Maret 2020. hari itu, situasi udah serba cemas dan hand sanitizer serta cuci tangan jadi hal yang wajib, meski belum harus ke mana-mana pakai masker. sorenya, pemerintah mulai mengimbau masyarakat untuk bekerja, belajar, dan beribadah di rumah. Senin, 16 Maret 2020 aku masih keluar kos untuk minta tanda tangan dosen (cuma 5 menit ketemunya!) dan belanja, beberapa instansi, termasuk kampusku, sudah mengeluarkan edaran resmi untuk menghentikan segala kegiatan yang mengumpulkan orang banyak. 

di hari Minggu itu, aku mendapat gambar entah dari grup mana, tulisannya adalah "jangan mudik!" mungkin karena tulisan itu, dan beberapa pertimbangan lain, disposisi batinku sejak awal memilih untuk tetap bertahan di Bandung. salah satu pertimbanganku yang utama adalah kekhawatiran kalau aku menjadi inang dari virus ini dan menularkan pada orang lain. apalagi tanggal 15 Maret itu aku berkumpul dengan lebih dari 50 orang dan berinteraksi dengan cukup dekat, meski sudah ada beberapa protokol seperti menggunakan hand sanitizer. selain itu, aku juga kepikiran tesis, soalnya hari-hari itu aku lagi penjaringan subjek dan pengambilan data. aku masih berpikir ada hal-hal yang bisa kulakukan di Bandung terkait tesisku. 

seminggu pertama, aku merasa diri ikut panik dengan situasi yang terjadi, dengan segala perubahan yang terpaksa harus dijalani. aku seakan-akan menjadikan diriku sebagai semacam "pusat informasi" untuk siapapun. berita dari satu grup akan dengan segera kuteruskan ke grup lain, begitu juga lintas medsos. hampir seluruh waktuku habis oleh mencari informasi, memvalidasinya, membagikannya. maklum, di minggu pertama ini begitu buanyaaakkk hoaks yang bersliweran, dan kepanikan di mana-mana. seminggu pertama, aku juga berusaha membuat beberapa tulisan dan kampanye sederhana untuk tetap saling menyapa dan melakukan hal-hal kecil demi kesehatan mental diri sendiri dan orang lain, lewat #LittleRandomAct. terlalu sibuk sama urusan per-covid-an ini, aku jadi enggak mikirin tesisku sendiri seminggu pertama. 

memasuki minggu kedua, aku mulai overwhelmed dengan banyaknya informasi dan mulai "sadar" untuk mikirin tesis lagi. minggu kedua ini adalah fase aku mulai putus asa dan rasanya pengen lulus tanpa tesis aja. huhuhu. mulai pesimis bisa lulus enggak (sesuai target), mulai khawatir dan merasa bersalah kalau (amit-amit) nanti harus nambah satu semester dan bayar lagi. perasaan putus asa itu masih berlanjut di minggu ketiga. aku juga mulai mempertanyakan, apakah keputusanku untuk tetap tinggal di Bandung dan enggak mudik ke Jogja itu adalah keputusan yang tepat dan terbaik. apalagi beberapa teman juga sudah mudik, dan bertanya apakah aku enggak mudik. semakin galau lah aku. padahal sejak minggu pertama, mama dan papa tampaknya memang lebih ingin aku dan kakak tetap di tempat kami masing-masing dan enggak balik ke Jogja karena terlalu riskan. terlebih kondisi papa (dan mama juga sebenarnya) yang punya beberapa penyakit bawaan. demi meminimalisir penularan, kami pun di kos aja.

minggu ketiga dan minggu keempat, yang berbarengan sama pekan suci, aku mulai agak lebih tenang dan makin mantap di kos aja. perasaanku campur aduk sebenarnya. tentu ada perasaan kesepian, sedih, khawatir, tapi di sisi lain juga ada perasaan lega dan syukur karena begitu banyak "previlege" yang aku punya, di tengah berbagai keterbatasan. beberapa sahabat berbagi berkat dan mengirimiku makanan, minuman, masker, kaus, buku sebagai bentuk #LittleRandomAct mereka. ketika aku merasa enggak baik-baik saja, aku juga berbagi dengan beberapa sahabat. salah satu kalimat yang paling kuingat dan paling menguatkanku kurang lebih begini: keputusan sudah dibuat, dijalani. kalau misalnya keputusan itu keliru, Tuhan akan membantumu menemukan yang lebih tepat. di podkes Setiap Jumat, Romo Magniz juga berkata untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan. ini juga menguatkanku di tengah kegalauan tak berujung di minggu ketiga menjelang Minggu Palma. 

Paskah 2020 ini beda banget levelnya. berasa banget kedaruratannya. ini adalah Paskah pertama, dan semoga yang terakhir, di mana kita enggak bisa ke gereja. aku cuma misa di kamar kos sendiri, dengan meja altar darurat dan kasur sebagai bekgron. di sisi lain pengalaman ini aku syukuri banget, karena aku merasa sungguh-sungguh menghayati dan memaknai paskah itu sendiri. sebuah keluarga sahabat menawariku untuk misa malam paskah bersama di rumah mereka, tapi aku terlalu sungkan untuk mengiyakan, dan terlalu malu karena aku memprediksi aku akan menangis heboh sepanjang misa. betul saja, aku sesenggukan sepanjang misa, bahkan setelah misa pun masih nangis. dasar aku cengeng sih. hehe.


secara fisik, aku memang sendiri di kamar kos ini. kos yang harusnya buat 25 orang ini pun cuma tinggal 3 orang plus keluarga yang jaga kos. tapi kehadiran keluarga dan sahabat secara virtual sungguh menguatkan dan membuatku enggak merasa benar-benar sendiri. aku pun membuat satu hestek lagi #berkatkorona untuk merenungkan hal-hal baik yang kurasakan di tengah pandemi. aku jadi sering banget video call sama mama, papa, dan kakak. selain itu, keluarga Esnawan juga beberapa kali vidcon, seru! aku juga jadi nyiapin makanan sendiri, bikin macem-macem eksperimen di dapur, termasuk masak nasi pakai panci dan dandang. beberapa life skills jadi terpaksa dipelajari di tengah pandemi, syukurlah. 

di tengah perasaan kesepian, kehampaan, kebosanan karena karantina, setidaknya aku tidak (terlalu) merasa sendiri, karena mungkin hampir semua orang di seluruh dunia mengalami hal serupa. maka sekecil apapun, aku berusaha berbagi dengan siapapun. sesederhana berbagi informasi yang akurat, menyapa, sampai menyumbang makanan atau uang. inilah yang aku sebut sebagai #LittleRandomAct. semoga hal-hal kecil yang kita lakukan selalu dilandasi kasih yang besar. horeluya!


20 April 2020 (eh, tanggalnya bagus)
dari kamar kos di Bandung,

sahambat

25 Januari 2020

semakin cina

xin nian kuai le, gaes!

imlek tahun ini rasanya beda dibanding imlek sebelumnya. sebenernya sejak dahulu kala, saya merasa enggak pernah bener-bener ngerayain imlek, cuma kumpul keluarga untuk makan-makan aja paling, angpao pun enggak selalu dapat. dua tahun terakhir, setelah saya tinggal di Nangor dan Bandung, saya selalu pulang saat malam imlek karena kumpul keluarga besar untuk makan-makan, nyekar, dan bagi angpao. tahun ini, enggak ada acara kumpul keluarga di Jogja, saya pun memutuskan untuk tidak mudik.

beberapa minggu sebelum imlek, papa tiba-tiba kirim beberapa foto kayak lagi ikutan suatu ritual di klenteng. ada mama, tante, om, dan sepupu saya di foto itu. ternyata, mereka lagi ikutan ciswak, semacam ruwatan ala Tionghoa. konon katanya, ritual ini dilakukan untuk mendoakan orang-orang dengan ship yang jiong atau enggak hoki di tahun yang akan datang, dan ternyata saya juga didoakan karena termasuk salah satu shio yang jiong.


shio yang jiong adalah yang dilewati garis abu-abu, 
yaitu shio tikus, kelinci, kuda, ayam
ritual di klenteng
saya tertarik sama ritual ini, karena tumben amat papa mama ke klenteng dan ikut ritual kayak begitu. dulu waktu saya kecil, saya juga pernah menjalani ruwatan dengan cara Jawa. jadi sebenarnya saya ini orang apa sih, entahlah. :))

saya kira ciswak itu cuma didoain dalam ritual itu, lalu selesai. ternyata, mama papa kirim paket buat saya, isinya ada air dengan bunga yang sudah didoakan, sabun, dan handuk. semua itu harus dipakai untuk mandi. karena saya merasa hal itu masih mungkin untuk dilakukan dan bermanfaat juga untuk kegiatan sehari-hari, akhirnya saya ikutin aja lah. lagian didoain yang baik-baik kok masak ditolak, aminin aja lah hehe. hasilnya, ya kayak mandi biasa aja sih, enggak ada sesuatu yang istimewa. 

air kembang, sabun, handuk untuk ciswak
di malam imlek, saya memutuskan untuk ikut tur malam imlek, acaranya jaringan kerja antar umat beragama (Jakatarub). saya ikut acara ini bareng sama beberapa teman dari Sekolah Damai INdonesia (Sekodi), Peace Generation, YIPC, dan beberapa komunitas lintas iman lainnya. seru banget! kami kunjungan ke klenteng, vihara, dan kong miao. pertama, kami kumpul di Klenteng Besar atau Klenteng Xie Tian Gong atau disebut juga Vihara Satya Budhi. di situ, kami diberi penjelasan oleh Pak Sugiri tentang makna imlek bagi orang Tionghoa dan sejarah bangunan klenteng tertua di Bandung itu. kami dibagi beberapa kelompok untuk masuk klenteng dan diberi penjelasan lebih detail. 

peserta tur malam imlek 2020, almost 90 people!

dari Klenteng Besar, kami berjalan kaki ke Vihara Tanda Bhakti. ini adalah vihara Tridharma juga, sama seperti Klenteng Besar. Tridharma maksudnya bahwa vihara atau klenteng itu bisa digunakan oleh umat Buddha, Khonghucu maupun Tao. awalnya, Vihara Tanda Bhakti ini adalah vihara khusus untuk orang tionghoa yang bermarga Tan, tapi sepertinya sekarang sudah terbuka untuk siapapun. di vihara ini, kami enggak cuma ngobrol-ngobrol, tapi juga dikasih suguhan mie dan kopi. walau mie instan, tapi lumayan lah mie panjang umur, anak kos can relate banget sih. :))


foto bersama di Vihara Tanda Bhakti

mie panjang umur
tempat ketiga yang kami kunjungi adalah Dharma Ramzi. ini adalah klenteng tertua kedua di Bandung setelah klenteng besar. lokasinya agak tersembunyi di dalam gang, tapi isinya lengkap banget! di pelataran Dharma Ramzi, ada barongsai yang beraksi, meski kayaknya anak-anak kampung situ sih yang main-main, tapi saya tetep excited liat barongsai. di Dharma Ramzi, kami dikasih suguhan bubur kacang ijo dan ketan item, plus roti. ini mah lebih ke hidangan gaya Bandung, tapi tetep yummy!
tuan rumah di Dharma Ramzi

bubur kacang
yang menarik di Dharma Ramzi adalah banyaaak banget patung dewa dewi yang punya kisahnya masing-masing, misalnya ada Dewi Kwan Im, Dewa Rezeki dan Dewa Jodoh. ada cerita menarik waktu beberapa dari kami ngobrol-ngobrol sama salah satu om-om relawan di depan patung Dewa Jodoh. salah satu teman peserta tur malam imlek, teteh-teteh muslim berkerudung sambil bercanda bilang ke saya dan teman sekodi, "Ini dewa jodoh, sok atuh doa minta jodoh. Aku mah udah tadi." teman saya bertanya, "Kayak gimana doanya?" lalu teteh tadi menyebutkan doa secara Islam. saya merasa itu adalah pengalaman yang menarik dan keren. patung, hio, buah-buahan, bahasa yang digunakan, itu semua hanya sarana, tujuannya mah gimana doa dan harapan kita sampai kepada Doi Yang Maha Yoi. 
Dewi Kwan Im

Dewa Rezeki, semoga cuan beserta kita!

Dewa Jodoh, ada amin saudara?
tempat terakhir yang kami kunjungi dalam tur malam imlek 2020 adalah Kong Miao, atau tempat ibadah penganut Khonghucu. di sana, kami dijelaskan tentang sejarah agama Khonghucu di Indonesia, dan bagaimana perjuangan mereka untuk jadi agama yang diakui di Indonesia. bapak yang menyambut kami berkata, "Gus Dur itu malaikatnya orang-orang Khonghucu," ya karena betapa besar jasa beliau hingga budaya Tionghoa dan agama Khonghucu boleh diaktualitasikan di Indonesia. 
di Kong Miao, nyaris tengah malam setelah menerjang hujan dan genangan

dari tur malam imlek ini, saya menangkap ada sedikit perbedaan makna imlek antara orang Tionghoa pada umumnya, dengan umat Khonghucu secara khusus. bagi orang Tionghoa, apapun agamanya, imlek dirayakan sebagai tahun baru, sebagai perayaan budaya, sebagai tradisi. orang pada mudik, makan bersama, bagi-bagi angpao, intinya kumpul keluarga. bagi umat Khonghucu secara khusus, imlek dirayakan sebagai hari raya keagamaan. ada sih orang Tionghoa yang bukan umat Khonghucu yang juga beribadah (baca: ke klenteng) waktu imlek, tapi itu lebih karena tradisi, bukan karena agama. enggak heran ketika ada orang yang berusaha melakukan akulturasi budaya Tionghoa dengan agama selain Khonghucu (misalnya bikin misa imlek), lalu orang Khonghucu protes karena merasa mencampuradukkan antara dua agama. bagi saya pribadi, setiap orang punya hak untuk memaknai imlek dengan pandangannya sendiri. yang kurang tepat adalah ketika kita memaksakan orang lain harus sependapat dengan kita, bahkan mengecap mereka yang berbeda pendapat dengan kita itu sesat. sebelum semua itu terjadi, kunjungan, dialog, dan kerjasama yang dilakukan, seperti pada tur malam imlek ini, sangat baik dilakukan untuk mengklarifikasi asumsi, memperoleh informasi, dan menghapus stigmatisasi. 

anyway, meski enggak kumpul bareng keluarga, meski enggak dapat angpao, meski enggak punya baju baru, enggak makan kue kranjang, lapis legit dan ikan, tapi saya senang sekali banyak belajar tentang apa yang menjadi (salah satu) akar budaya saya. saya merasa jadi makin cina, meski masih tetep cina kw alias cina gagal. :))
selamat imlek! gong xi fa cai!
seharian hujan deras di Bandung, semoga rezeki mengalir deras juga untuk kita semua sepanjang tahun. 


Sabtu, 25 Januari 2020
cina kw yang waktu tur malam imlek pakai kaus gambar gunungan dengan bahasa Jawa kuno, dan ada salibnya












nonik vania

21 Januari 2020

2019 love yourself

hello folks! long time no see! happy (belated) new year! 2020 udah jalan 21 hari nih, gimana so far? hope it goes well yaaa...

so, 2019 was over, and I learned a lot through the year. semua pelajaran selama 2019 saya coba rangkum dalam hestek #2019LoveYourself. well, sebenernya itu hestek yang saya bikin di awal tahun 2019 sih, untuk mengingatkan pelajaran besar yang ingin saya capai sepanjang tahun. awalnya (kalau enggak salah ingat), saya bikin hestek itu gara-gara saya kena gerd di awal 2019. sebetulnya saya enggak pernah punya masalah sama asam lambung. memang sejak bayi, pencernaan saya bermasalah, sampai harus rawat inap sekitar 2 minggu setelah lahir, dan waktu TK sampai SD saya gampang muntah, tapi saya enggak pernah punya masalah sama asam lambung. pertama kali saya kena masalah lambung tuh akhir 2018 waktu saya ikut conference di Batu, Malang. masalah lambung itu terulang lagi di awal 2019 waktu saya nyiapin seminar usulan penelitian (SUP). ya, mungkin faktor yang lebih utama dari gerd ini adalah stres hahaha. 

well, sebagian besar 2019 saya dedikasikan untuk praktik kerja, urusan dengan klien dan laporan. awal November 2019, saya menjalani ujian praktik kerja internal dengan dosen-dosen, lalu 20 Desember 2019 saya menjalani ujian profesi dengan penguji dari organisasi profesi. wow, ternyata udah sebulan lebih sehari saya dinyatakan layak jadi psikolog. rasanya belum banyak perubahan, maklum gelarnya belum sah karena masih harus menyelesaikan tesis. 

selain urusan kuliah, di 2019 saya juga rasanya lebih banyak meluangkan waktu dengan keluarga. memang ada beberapa kejadian yang bikin deg-degan sepanjang 2019, misalnya papa 2x masuk IGD dan harus opname sekali. mama pun juga sempat opname sekali. saya pun cukup sering pulang ke Jogja, bisa dua bulan sekali, bahkan sebulan sekali. beberapa kali saya izin dari praktik kerja karena pulang ke Jogja, atau menemani sahabat yang berkunjung ke Bandung. untungnya, temen-temen di tempat praktik kerja sangat suportif, bahkan mereka kadang nyuruh saya bolos lebih lama biar lebih lama di rumah. dengan mereka, saya pun akhirnya berani membuka diri tentang kondisi kesehatan papa yang selama ini saya simpan sendiri. ternyata, mengakui kerapuhan diri dan membuka diri untuk perhatian dan bantuan orang lain pun adalah bentuk "love yourself". enggak hanya dengan teman-teman praktik kerja, saya pun membagi kisah yang selama ini saya simpan sendiri dengan keluarga dan beberapa sahabat. ketakutan saya selama ini bahwa mereka akan nge-judge atau bahkan menjauhi saya, untungnya enggak terjadi. mereka tetap mau bersahabat dengan saya, bahkan mendengarkan dan memberi saran. 

hal lain yang saya pelajari dan lakukan sebagai bentuk "love yourself" adalah menjalin kontak dengan beberapa orang yang selama ini saya hindari, bahkan saya (di)blok. saya mencoba menyapa mereka, beberapa bahkan saling update kabar dan curhat sama saya. ada perasaan lega yang luar biasa ketika kembali menjalin komunikasi dengan mereka. rasanya, perasaan kesel, sebel, marah, dendam, kecewa di masa yang udah lalu tuh luntur gitu. I've done with that. biarlah itu menjadi bagian dalam hidup saya, tapi yaudah, life goes on. wong ya wis bertahun-tahun lho ya hahaha lama ya... 

saya bersyukur banget bisa melewati 2019 dengan berbagai dinamika yang terjadi. saya banyak belajar untuk mengasihi diri sendiri, untuk menjadi sahabat bagi diri sendiri, selain menjadi sahabat bagi orang lain. kayak lagunya Kunto Aji yang judulnya Bungsu, "Sebelum kau menjaga, merawat, melindungi segala yang berarti, yang sebaiknya kau jaga adalah dirimu sendiri."

have a great 2020, gaes!
oya, hestek saya untuk tahun ini adalah #2020LevelUp, dan goals utama saya tahun ini adalah LULUS dan kerja (I need cuan)! nyuwun pangestunipun nggih, sedherek sedaya...
kalau kamu apa resolusi 2020nya?


Bandung, 21 Januari 2020
18.18 WIB
vania