selain cerita si bintang

19 November 2017

God is the best planner

God is the best planner ever. Dia memilihkan jalan untuk kita, sepaket dengan perbekalan yang kita butuhkan. Kadang perbekalannya nggak dikasih semua di awal, tapi akan dikasih pas kita perlu dan pas takarannya.

Kurang lebih itu yang saya bagikan ke seorang sahabat yang sedang galau akan langkah hidup selanjutnya. Saya pun pernah, eh sedang, mengalami hal yang sama. Keputusan saya untuk kuliah lagi, lalu ndilalah keterima di Unpad dan harus terdampar di sebuah kecamatan bernama Jatinangor, bagi saya adalah rencana Tuhan yang mendebarkan dan menggetarkan. Seperti sudah saya tulis di postingan sebelumnya, ini adalah pengalaman pertama saya menjadi anak rantau dan anak kos. Personally, there’s so many things to worry about. Tapi ternyata saya bisa juga melewati hari-hari sebagai mahasiswa S2 di kecamatan Jatinangor ini, sudah lebih dari 3 bulan! Yah, meski perjalanannya tidak selalu mulus dan banyak air mata, rindu yang selalu memuncak, berbagai drama dan gejolak, tapi perjalanan ini membuat saya semakin mengenal diri saya dan berkawan dengan kesendirian serta kesepian.

Saya harus mengakui bahwa setelah menjalani kehidupan sebagai anak rantau dan anak kos newbie, saya jadi malu sama diri sendiri. Sejak SMA, saya punya keinginan untuk bisa kuliah di luar negeri, tujuan saya saat itu adalah Australia. Bahkan, saya pun pernah memakai alasan itu untuk membohongi teman-teman saat April Mop. Yah, bohongnya yang baik-baik, siapa tau kejadian beneran ya kan hahaha… waktu itu saya bilang ke adek-adek pengurus Papita (Valent, Angel, Febri, dkk) kalau saya harus segera pamit karena akan melanjutkan studi di Australia. Kalau nggak salah ingat sih mereka waktu itu udah mimbik-mimbik nahan nangis hahaha kocak banget deh :))

Tahun lalu, sebelum saya mendaftar S2, saya juga sempat mendaftar menjadi asisten peneliti di Timika, Papua. Nekad sih saya waktu itu, hanya karena saya pengen banget menginjakkan kaki di Bumi Cenderawasih. Tapi saya nggak diterima, karena mereka lebih memilih warga lokal. Waktu itu saya sempat kecewa. Biasa lah, walau baru mendaftar, tapi pikirannya udah heboh ke sana kemari.

Setelah menjalani hidup di kecamatan Jatinangor ini, barulah saya bersyukur sekali nggak keterima di Papua dan belum dapat kesempatan kuliah di Australia. Betapa tidak, saya sekarang yang masih sama-sama tinggal di Jawa saja kangennya luar biasa. Benteng pertahanan rindu saya sudah berulang kali hampir jebol. Sampai sekarang pun saya udah berkali-kali dikirimi paket dari rumah maupun dari online shop. Tidak hanya itu, saya pun berkali-kali membayangkan rumah dan berkali-kali ingin pulang, meski akhirnya saya tahan.

Saya tidak bisa membayangkan kalau saya jadi keterima di Papua, atau saya berkesempatan kuliah di Australia dan pengalaman itu adalah kali pertama saya merantau. Mungkin hidup saya akan terasa jauhhh lebih berat daripada sekarang. Selain karena memang lebih jauh, perbedaan waktu, bahasa, budaya dan mungkin juga akses, dan orang-orang yang dijumpai mungkin membuat saya lebih susah move on. Setelah berefleksi terus menerus, saya pun sangat bersyukur atas apa yang saya alami, atas apa yang Tuhan siapkan dan pilihkan untuk saya.

Saya jadi ingat bacaan injil hari ini, tentang talenta. Benar bahwa Tuhan memberi kita talenta yang berbeda-beda. Memang ada orang yang bisa merantau di usia yang sangat muda, tapi ada juga yang baru bisa merantau di usia lebih dari 20an, itu pun banyak bapernya (iya ini ngomongin diri sendiri :p).
Dia juga tau kapan dan di mana kira-kira kita bisa mengembangkan talenta yang kita miliki. Dia pun tau bagaimana cara menolong kita untuk mengoptimalkan talenta yang kita miliki, dan membagikannya pada orang lain.

Yang jadi pertanyaan buat kita, mau nggak kita mengoptimalkan dan mengembangkan talenta yang kita miliki? Mau nggak kita ikut serta mewujudkan rencana-Nya?


God is the best planner, but it means nothing if we do nothing to work through the plans.

Selamat dan tetap semangat untuk menjalankan rencana-Nya dan mengembangkan talenta!



Minggu, 19 November 2017
09.09 PM
dari Kecamatan Jatinangor,

Stella Vania

09 September 2017

Jatinangor rasa Jogja

Hari ini tepat sebulan saya meninggalkan Jogja. Kalau ditanya apakah saya kangen Jogja atau engga, saya akan jawab saya kuangeeeeennnn buangeeetttt. Setiap saat! Manifestasi rasa kangen saya sama Jogja itu suka random banget. Tiba-tiba saya inget jalan di sekitar Kalasan. Besoknya, mendadak saya kebayang-bayang jalanan di sekitar taman parkir Ngabean. Pokoknya ajaib gitu deh, random. Trus munculnya suka mendadak pula, pop up gitu. Tiba-tiba di tengah bimbingan saya bisa aja gitu keinget jalan di deket rumah saya.

Minggu lalu, sebelum saya dolan ke Jakarta, saya dihubungi pihak Fakultas Psikologi Unpad, katanya saya diminta ikut terlibat dalam acara Dies Natalis Unpad sebagai perwakilan dari Jogja. Permintaan ini sempet bikin saya kepikiran dan galau, karena mereka rikues saya suruh pakai baju adat dan menyiapkan sendiri baju adatnya. Dueeenggg! Saya langsung kontak mama dan minta tolong kirim baju dari Jogja. Tapi persoalan tidak berhenti di situ, saya juga mikir soal dandan. Duh, ribet amat yak, pikir saya. Ketika ketemu sama panitianya, saya jadi agak tenang karena beliau bilang bisa didandani, tapi kumpulnya pagi pagi sekali.
Tadi pagi, saya sudah harus sampai kampus jam 05.30. Ketika saya keluar dari kos, langit masih gelap dan masih ada bulan coba lah. Sampai di kampus, ternyata sudah ada beberapa ibu yang dirias, dan ternyata ada yang pura-pura jadi manten, jadinya dirias paes ageng. Unyu sekaliii… terus ternyata ada yang jadi cucuk lampah, terus ada beberapa orang yang pakai beskap dan lurik. Kemudian saya merasa berada di Jatinangor rasa Jogja. Rasa Jogja itu bertambah ketika jalan pawai, rombongan kami diiringi dengan lagu Kebo Giro, yang biasanya memang dipakai sebagai lagu pengiring manten berjalan ke pelaminan.
Ternyata, pawainya cukup meriah. Saya baru tau juga kalau pawai itu adalah bagian dari pembukaan OOTRAD atau olimpiade olahraga tradisional yang merupakan rangkaian acara dies natalis Unpad ke 60. Tiap fakultas seakan-akan menjadi kontingen dari provinsi tertentu, lalu diminta menampilkan diri sesuai dengan provinsinya. Contohnya tadi ada yang ceritanya mewakili DKI Jakarta, terus bawa ondel-ondel. Trus ada yang ceritanya mewakili Jawa Timur, mereka pada pakai baju ala Madura, dan bawa Reog Ponorogo. Seru deh!

Saya seneng banget bisa menikmati penampilan yang keren-keren. Tapi saya lebih seneng karena bisa lebih kenal sama beberapa karyawan yang seru nan kocak. Sebenarnya tadi yang dari rombongan kami, yang asli Jogja cuma dua orang, saya dan Mbak Anggita, mahasiswi S3 Psikologi yang asli mBantul (kudu pakai ‘m’ ya :p) Mbak Anggita ini, walau dosen di sebuah universitas di Jakarta, tapi seru bangettt. Beliau ngajakin saya foto-foto sama ‘para pengantin’ dari berbagai ‘provinsi’. Jadi tadi pagi kami berasa kondangan tingkat nasional :D

Meski kegiatan tadi tidak menghilangkan kebaperan saya akan Jogja yang sungguh berhati nyaman, tapi saya senang sekali dilibatkan dalam kegiatan itu, kenal orang-orang baru, dan merasa semakin punya teman. Semoga pengalaman ini bisa membuat saya semakin merasakan “Jatinangor rasa Jogja”, merasakan nyamannya (hidup di) Jatinangor, meski tetap tidak ada yang bisa mengalahkan nyamannya Yogyakarta yang memang berhati nyaman.


PS: semoga Yogyakarta nggak berhenti nyaman ya!


Sabtu malam, 9/9/17
cah Jogja,
vania

26 Agustus 2017

dua minggu

dua minggu. saya bingung mau menaruh kata "sudah" atau "baru" di depan frasa itu. kalau "sudah dua minggu" artinya rasanya sudah lama saya ada di sini, menjalani tiga peran baru sebagai anak rantau, anak kos dan mahasiswa baru. padahal ini baru awal perjalanan panjang saya yang (harapannya) akan berlangsung lima semester. tapi kalau "baru dua minggu", rasanya juga sudah cukup banyak hal yang saya alami dan saya rasakan selama dua minggu di sini. 

sistem perkuliahan di sini adalah sistem blok, kayak anak kedokteran gitu. jadi dalam rentang waktu tertentu, yang dibahas hanya satu bab (atau satu materi) lalu diakhiri dengan ujian, setelah ujian ganti materi lain. contohnya, minggu ini saya belajar tentang observasi dan interview individual. hari Senin dan Rabu ada kuliah, Kamis praktikum dan harus bikin laporan yang dikumpul hari itu juga, Jumat ujian. lalu besok Senin ganti materi lain. begitulah, dalam satu blok harus terkumpul nilai tugas, nilai UTS dan nilai UAS. kebayang lah ya betapa intensnya... bahkan dari draft jadwal yang sudah dishare, ada materi yang cuma dikasih satu hari, besoknya ujian. I can't even imagine bakal jadi kek apa nanti prosesnya. tapi ya sudahlah, namanya juga sudah dipilih, kudu dijalani, dinikmati, dimaknai dan disyukuri. :)

anyway, dua minggu di sini membuat saya menyadari bahwa ternyata rasa rindu itu random dan irasional. bisa-bisanya di tengah-tengah kuliah tiba-tiba saya ingat Soto Kadipiro, kangen rumah, kangen mama, pengen ke Kotabaru dan berbagai kerandoman lainnya. bahkan saya bisa tiba-tiba ingat beberapa sudut Jogja yang sebelumnya jarang saya datangi ketika saya di Jogja. dan bayangan serta perasaan itu munculnya kadang di waktu yang nggak umum, misalnya di tengah-tengah pengerjaan tugas atau ketika bangun tidur. yah, namanya juga perasaan ya. kalau kata Choice Theory (yang baru saja saya tau tadi pagi), perasaan mah nggak bisa kita kontrol secara langsung, beda sama pikiran dan perilaku. #NyebutTeoriBiarKeliatanMahasiswa :p

kerinduan saya sama Jogja beberapa kali juga "dicolek" gitu sama semesta. misalnya beberapa hari lalu teman saya tiba-tiba bertanya tentang bahasa Jawa. lalu beberapa hari berikutnya, teman saya yang lain bertanya perbandingan antara Jogja dan Bandung. yang paling lucu adalah ketika dosen minggu ini memberi pengumuman bahwa ujian akan berupa analisis film, dan film yang akan dipakai adalah AADC 2, spontan saya langsung mikir, "Wah, baper Jogja nihhh..." tapi untungnya, karena nonton film fokus buat analisis, jadi kebaperan akan Jogja bisa (sedikit) teratasi :))

akhirnya saya memutuskan bahwa ini "baru dua minggu", karena masih panjang perjalanan yang harus saya tempuh. dua minggu itu, bagi saya, tidak lagi dalam masa denial, tapi lebih bargaining. beberapa kali saya sudah punya keinginan untuk pulang (ke Jogja), tapi lalu saya dihadapkan pada kenyataan jadwal yang intens dan ingat kembali tujuan saya ke sini apa. kadang saya masih mencoba melakukan penawaran (dalam hati, entah dengan siapa), kapan ya kira-kira bisa balik, akhir tahun mungkin natalan di Jogja nggak ya, wah tapi Desember mah masih lama ya, dan sebagainya. well, saya kadang iri juga sama teman-teman yang sama-sama ngekos tapi rumahnya di Bandung atau Jakarta, jadi dia bisa balik atau keluarganya bisa ke sini hehehe. but everyone has their own part and everything has it's own time, right? so, this is my kind of battle right now, but I really thankful because I have this opportunity. semoga saja saya bisa cepat menyesuaikan diri dengan tiga status baru saya sebagai anak rantau, anak kos dan mahasiswa baru (S2 pula!), dan hasilnya pun sepadan dengan perjuangan saya. 

harapan yang sama juga saya bisikkan ke Dia untukmu, ya! good luck with your own battle! <3



Sabtu, 26 Agustus 2017
dari gadis yang bersyukur akan adanya anugerah bernama akhir pekan,

vania

12 Agustus 2017

August is ...

August is all about starting new journey, and it means new status, new places, new experiences, new friends, everything!

Flashback sedikit, bulan Agustus 2014, saya mulai perjalanan SLP, semacam KKN, di Cagayan de Oro, Philippines. Kurang lebih sebulan jauh dari rumah, serumah dengan orang-orang dari Filipina, Jepang dan Korea sambil berbahasa Inggris setiap hari merupakan pengalaman yang luar biasa bagi saya. Banyak “first thing” yang saya alami selama saya SLP, dan somehow, SLP change my life.

Agustus 2015. Saya memutuskan untuk mengakhiri relasi dengan seorang laki-laki yang saya patahkan hatinya. Yes, I made that choice and I think I never regret it. Well, saya sadar bahwa mencintainya bukanlah suatu kesalahan, begitu juga dengan berhenti mencintainya.

Agustus 2016. Saya kembali terlibat dalam SLP, tapi kali ini ikut membantu sebagai panitia, karena SLP diadakan oleh Universitas Sanata Dharma di Jogja. Lagi-lagi saya berkenalan dengan rekan-rekan dari Filipina, Jepang dan Korea. Saya juga mulai terlibat mendampingi retret. Retret pertama yang saya damping adalah retretnya Stero, terima kasih Romo Adri sudah ngajakin saya! :D

Agustus 2017. Here I am now, living a “brand new” life. Jatinangor. Tidak pernah terlintas dalam benak saya untuk datang, apalagi tinggal di kota ini. Namun karena kota ini, sekarang saya resmi menyandang tiga status baru sekaligus: anak rantau, anak kost dan mahasiswa baru. Dulu di rumah sih anak kost juga statusnya, tapi kan di rumah, ini mah sekarang jauh hehehe
Belum genap seminggu saya di sini, maka masih benar-benar baru. Bagaimana rasanya? Mmm, campur aduk, sih. Yang pasti, perasaan cemas, gelisah dan takut adalah perasaan-perasaan yang paling mendominasi saat ini. Menurut saya ini cukup wajar karena ini pertama kalinya saya benar-benar merantau, meski sudah sempat sebulan numpang hidup di negara orang saat SLP, tapi saat itu saya masih punya empat teman dan satu dosen yang sama-sama dari Sadhar (hey guys!) But now I feel like I am alone. Sebenarnya kalau soal sendiri, saya sudah cukup terbiasa, karena di rumah pun sering sendiri. Tapi masalahnya, di sini saya sama sekali buta arah, ada perbedaan budaya, dan masih ngeblank soal perkuliahan di Unpad, kampus saya sekarang. There are so many things to worry about. 
Meski begitu, ada banyak sekali hal yang saya syukuri dan cukup meredakan kecemasan saya. Mulai dari (kamar) kost yang nyaman, teman satu kost yang ternyata juga teman sekelas, keluarga penjaga kost yang sangat helpful dan juga teman-teman sekelas yang menyenangkan. Despite of all insecurities and anxieties, I am grateful to have this opportunity. Akhirnya saya keluar dari rumah, keluar dari Jogja, keluar dari Kotabaru, keluar dari zona super nyaman. Ya memang nggak nyaman, tapi yang nggak nyaman itu yang seringkali mengembangkan, ya kan ;)

So, please kindly pray for me and this journey, guys! Hopefully I can learn and develop, not only as a student, but as a human as well. 
Hatur nuhun! :D


Sabtu, 12 Agustus 2017
(benar-benar) anak kost,

Vania

07 Maret 2017

karena (di)percaya itu indah

hae gaesss! salam manis dari pengangguran :))
begitulah, sudah hampir setahun (anjir banget dah) saya resmi jadi pengangguran. ketika selesai yudisium bulan Juni 2016, saya mikir saya pengen bebas dulu, minimal sampai wisuda, setelah itu baru dipikir lah mau apa. saya pengen nyoba macem-macem hal sebelum mengikat diri lagi, entah dengan pekerjaan, sekolah, atau hati yang baru #EH :p

entah bagaimana ceritanya, kok ya ndilalah saya dihampiri beberapa kesempatan untuk mencoba dan belajar banyak hal, mulai dari menyiapkan dan memberi training sederhana (sama temen sendiri, Saint Peter!), menemani retret anak-anak SMA dan rekoleksi anak-anak SMP, membawa Aping & Anit ke FKY, memberi konseling dan wawancara, jadi asisten praktikum lagi, promosi EKM, menyelenggarakan retret, memberi dan memeriksa psikotes, nyobain jadi HRD, jaga stand jobfair, menulis untuk majalah, bicara di depan 300 anak SMP, macem-macem banget deh pengalamannya selama hampir setahun ini, meski tidak punya pekerjaan dan pemasukan tetap, tapi ternyata "pemasukan" yang saya dapatkan jauhhh lebih berharga dari yang bisa saya bayangkan. 

dalam rentang waktu hampir satu tahun ini, saya seringkali merasa bingung, tidak tahu mau ke mana. ada satu waktu di mana saya benar-benar menyiapkan diri untuk bekerja, mulai dari bikin akun di situs pencari kerja online, membuat dan memperbarui CV, melamar ke beberapa perusahaan, harap harap cemas kalau ada notifikasi akun dilihat oleh perusahaan itu atau ada lowongan yang sesuai minat, mencoba beberapa fitur di LinkedIn, sampai membuat akun di website salah satu perusahaan terkemuka untuk melamar pekerjaan. saya bahkan sudah pernah mengatur waktu kalau-kalau saya harus ke Jakarta untuk menanggapi panggilan kerja. tapi seiring berjalannya waktu, dan tidak ada panggilan kerja yang saya terima, semangat untuk mengejar pekerjaan pun meluntur, lalu saya kembali menjadi vania yang biasanya: sibuk membantu teman, berdiskusi mengenai skripsi, membaca beberapa buku, dan doing nothing (ra produktip tenan kowe van -_-)

ketika beberapa waktu lalu berkumpul bersama teman-teman Joyful Gathering untuk "update status", saya pun berefleksi bahwa setidaknya selama lebih dari setengah tahun ini, banyak sekali peluang yang dipercayakan pada saya, dan saya belajar buanyak hal dari peluang-peluang itu. saya belajar jadi HRD, yang somehow out of my mind, saya nggak pernah bayangin saya jadi HRD, eh ngicipin juga. saya nggak pernah bayangin saya bisa ngomong di depan 300 anak SMP, meski agak kesulitan mengendalikan situasi, tapi toh akhirnya bisa juga, maklum saya cuma jadi pemancing aja, pembicara utamanya orang lain hahaha :p

dannn akhir-akhir ini saya mendapat kepercayaan yang luaaarrr biasaaa... jadi begini ceritanya, skripsi saya kan tentang anak dari keluarga single mother. ketika saya membuat skripsi, saya mencari apapun yang mengarah ke topik itu, lalu saya menemukan sebuah komunitas single parent, namanya SPINmotion: single parent Indonesia in motion. ternyata, saat saya bergabung, komunitas itu belum lama dibentuk. saya pun masuk ke dalam grup WA komunitas ini dan makin lama, perkembangan komunitas ini semakin luar biasa. akhirnya mulai dibentuk grup-grup kecil berdasarkan topik bahasan, di antaranya ada grup hukum, grup bisnis, grup kesehatan dan psikologi. oleh founder SPINmotion, saya dipercaya untuk mengurus grup kesehatan dan psikologi, bersama dua orang dokter yang ternyata juga single mother. hari Jumat, 3 Maret 2017 lalu, SPINmotion cabang Yogyakarta pun resmi menjadi sebuah yayasan. lalu lagi-lagi, founder SPINmotion menghubungi saya dan bilang, "Nanti bersama dua dokter yang lain, jadi staf ahli yayasan ya." saya langsung kaget dan berkata dalam hati: GUSTI ALLAH! AING MAH NAON ATUUUHHHH... cuma remahan rempeyek gosong :O :O :O
sumpah, saya merasa tidak seahli itu untuk diberi label 'staf ahli'. saya pun bertanya kenapa beliau bisa sepercaya itu pada saya, yang bahkan belum pernah ketemu sama sekali. lalu beliau menjawab, "Saya kan menebar jejaring informan, pengalamanmu sudah mumpuni untuk jadi staf ahli psikologi para janda dan duda." 
DUUEEENNNGGG!!! saya langsung merasa saya haruuusss belajar belajar belajar dan belajar terus mbuh piye cara'ne! 

ternyata, dipercaya itu (bisa jadi) motivasi yang warbiyasak! :D

yah, semoga saya nggak sesat yaaa... :))



Selasa, 7 Maret 2017
19.48
masih pengangguran,
vania

11 Januari 2017

CTS: cina totok sekali

halo, gaes!
selamat natal dan tahun baru ya :D

wah, rasa-rasanya baru kali ini abis nonton film langsung pengen nulis blog. kalau nonton film lalu refleksi, itu biasa, tapi jarang bahkan mungkin hampir nggak pernah begitu nonton pengen nulis blog, which is tulisan panjang.

jujur aja, saya baru akhir-akhir ini aja seneng nonton film di bioskop. iya, kayaknya saya telat gaul sih. apalagi nonton film Indonesia, wuih jarang banget. alasannya agak klise sih, "paling juga ntar lagi nongol di tipi." padahal kalau nongol di tipi juga kagak pernah nonton :))

jadi begini ceritanya. saya abis nonton film yang kece abis, judulnya Cek Toko Sebelah (CTS). film yang disutradarai, ditulis skenarionya dan diperankan oleh Ernest Prakasa. setahun lalu saya juga nonton filmnya Koh Ernest, judulnya Ngenest. waktu itu saya seneng juga bisa nonton film Indonesia di bioskop, worth it lah, soalnya filmnya kece dan related banget sama hidup saya sebagai seorang keturunan cina. saya nyebutnya cina aja, yaaa, soalnya kalau 'tionghoa' kok rasanya makin 'beda' HAHA. apalagi waktu itu nontonnya sama Mbak Anne yang memang lagi bikin tesis soal cina. nah, ketika film CTS ini keluar teasernya, pikiran yang sekilas muncul adalah, "wah, toko! pasti soal cina nih!" stereotyping banget yak :))

pas mulai tayang dan banyak muncul komentar-komentar orang yang nonton, banyak yang bilang filmnya bikin inget tentang keluarga. wah, jadi makin tertarik nih saya. apalagi ketika beberapa kali iklan tentang CTS ini tayang di tipi, mama ketawa-ketawa. saya jadi pengen ngajak mama papa nonton, selain karena mama senang nonton stand up comedy di tipi dan di CTS ini banyak komika, tapi juga karena filmnya nyinggung soal keluarga, apalagi keluarga cina. 

nah, saya pengen beberapa hal yang berkesan nih buat saya, yang somehow related with beberapa pengalaman yang saya jumpai di beberapa keluarga cina di sekitar saya. mungkin paling pas bahas dari dua tokoh yang mengalami sibling rivalry: Yohan dan Erwin. 
jelas lah, Erwin itu anak kesayangan idaman setiap keluarga cina. sekolah di luar negeri karena beasiswa, karir bagus, dan satu hal lagi yang jadi nilai plus Erwin dibanding Yohan: pacarnya cina juga. sedangkan Yohan mungkin 180 derajat ya, hidupnya nggak jelas, suka judi, istrinya pribumi pula. saya nggak tau sih, karena nggak ada di film juga, tapi mungkin salah satu alasan Koh Afuk, si papa, nggak cocok sama Yohan ya itu, karena Koh Afuk nggak setuju sama pernikahan Yohan dan Ayu, yang alasan fundamentalnya adalah karena Ayu nggak cina. dan film itu menegaskan perbedaan antara Yohan dan Ayu dengan sangat manis, mereka punya panggilan sayang "Kohan" (Koh Yohan) dan "Mbakyu" (Mbak Ayu). 
sebelum nonton film ini, saya sempat baca di Twitter sih tentang panggilan sayang pasangan ini, lalu saya langsung mikir kalau ini ada hubungannya sama nikah beda etnis. sesungguhnya cinta beda etnis masih lebih ngenes dari cinta beda agama. kasarannya, kalau cinta beda agama jadi masalah, pindah agama lalu masalah selesai. lha kalau cinta beda etnis, mau apa coba? kelarrr... 
oke, balik ke topik. kenapa hal ini 'somehow related', karena saya (dan kayaknya kakak juga sih) rasa-rasanya punya kecenderungan untuk lebih tertarik menjalin relasi romantis dengan mereka yang bukan cina. #eaaa
ya bukan tanpa hambatan sih. persis seperti di film CTS ini, kalau papa saya sendiri selalu tanya, "Kok nggak cina tho? Mbok cari yang cina." beda dengan mama saya yang lebih woles. entahlah, mungkin memang para bapak ini merasa lebih punya tanggung jawab untuk 'melestarikan keturunan', sedangkan para ibu lebih legawa karena lebih pengen lihat anaknya happy no matter what. mungkin efek budaya patriarki. ya, mungkin sih. namanya juga asumsi, bisa jadi keliru. lho, kok jadi curhat ya. balik lagi lah ke filmnya.

saya nggak heran sih kenapa Koh Afuk lebih percaya sama Erwin, karena di berbagai segi kehidupan si Erwin ini memang 'win' gitu, memang menang. tapi satu hal yang bisa kita pelajari dari Erwin. kita sebagai anak kadang terlalu fokus pada perkembangan diri kita sendiri, yang kita pikir bisa membanggakan orang lain atau bisa memenuhi kebutuhan orang lain berdasarkan sudut pandang kita. kita lupa kalau orang lain di sekitar kita, termasuk orangtua kita, juga memiliki tahap perkembangannya sendiri, dan ini membuat kebutuhan mereka mungkin berbeda dengan yang kita kira jadi kebutuhan mereka. dalam film CTS, Koh Afuk punya kebutuhan untuk istirahat, dan tampaknya dia juga punya kebutuhan untuk berkumpul bersama anak-anaknya, apalagi anak kesayangannya, Erwin. dia nggak lagi butuh 'rasa bangga', karena baginya kebanggaan dan kebahagiaan yang utama adalah tokonya itu. karena yang 'berharga' dari suatu hal seringkali memang bukan 'harganya', bukan duitnya, tapi kenangannya. karena kenangan itu seringkali tidak ternilai harganya.
di sisi lain, betapapun ancurnya kehidupan Yohan, dia juga 'cina banget', karena menomorsatukan keluarga. eh nggak gitu maksudnya. meski si Yohan ini pernah nakal banget, dia tetap memikirkan keluarganya, ya tipikal orang yang akan mendahulukan kepentingan orang lain dibanding diri sendiri gitu. Yohan ini sebenarnya adalah orang yang bisa belajar dari masa lalunya. dia kini menjadi orang yang sangat bertanggung jawab, bahkan dia bilang begini ke istrinya, "Ngewujudin mimpi kamu itu tanggung jawab aku, bukan orang lain." nyesss...

eh tiba-tiba ketika nulis ini saya jadi kepikiran, cerita CTS ini kok agak mirip sama perumpamaan Yesus tentang anak yang hilang. anak bungsu, si Erwin, itu 'foya-foya', artinya nggak hadir ketika mamanya sakit, tapi dia yang dipercaya untuk mengelola toko, kalau di alkitab, Erwin yang 'diambilkan jubah dan cincin lalu dibikinkan pesta oleh si ayah', sedangkan si sulung Yohan yang selalu ada dan setia itu nggak dikasih apa-apa. entahlah memang terinspirasi, atau saya aja yang pakai cocoklogi :))

dua sosok perempuan yang juga penting dalam film ini adalah Natalie, pacarnya Erwin, dan Ayu, istrinya Yohan. Natalie ini juga sosok cewek cina modern nan independen masa kini yang nggak pengen punya toko karena cenderung menghindari peran domestik. Ayu, istrinya Yohan, ini perempuan yang sangat memahami dan bisa 'ngalem' orang lain, nggak cuma ngalem suaminya, tapi juga Natalie yang notabene cenderung meluap-luap emosinya. saya terkesan dengan percakapan dua perempuan ini, di mana Ayu ngomong, "Sebenernya ini untuk dia (Erwin), atau untuk kamu? Kamu sayang sama Erwin? Kamu udah milih Erwin, sekarang saatnya dia milih."
kata-katanya mungkin nggak panjang lebar tinggi sih, tapi ngena banget. luntur udah semua ego, karena kata-katanya sederhana tapi disampaikan dengan sangat mendalam jadi nanceppp jlebbb. dan bukan tanpa alasan Ayu ngomong begitu. karena dia sudah pernah mengalami bergulat dengan Yohan, suaminya, yang mungkin lebih berat gitu pergulatannya. maka, dia bisa membagikan apa yang dia miliki, yaitu apa yang pernah dia alami. karena kata-kata Ayu tadi, di akhir cerita si Natalie berhasil mengalahkan egonya, meski berat dan nggak mudah, dan nggak jadi :))
karakter dua perempuan ini sebenarnya bertolak belakang. meski mereka sama-sama punya mimpi, tapi Natalie terus mengejar mimpi itu dengan ngotot, sedangkan Ayu mengejar mimpi itu tapi alon-alon waton kelakon. eh, ini termasuk stereotipe ras tertentu nggak ya? hehehe...

overall, nonton film CTS ini berasa lagi lomba lari. awal-awal itu rasanya mau lari cepet, adrenalin dan emosinya naik. di tengah, mulai capek, mulai turun emosinya. hampir selesai larinya cepet lagi. nonton CTS itu banyak ketawa! lihat aja cast-nya banyaaak banget komika, dan semua pemeran literally punya peran. tapi juga ada bagian yang very touching, sampai bikin saya mbrambangi. menariknya, di bagian akhir, penonton dengan cepat dinaikkan lagi mood-nya, dan ditutup dengan tawa. jadi kalau ada penonton yang mengalami LSS (baca: last scene syndrome) itu tetap merasa hepiii walau abis nangis kejer :))

satu hal lagi yang bikin nonton CTS ini istimewa, karena saya nonton bareng mama papa. dan komentar pertama mama setelah nonton, "ya kalau cina totok ya emang kayak gitu." :))
komentar mama ini makin menegaskan kalau keluarga kami termasuk cina gagal, karena nggak punya toko, nggak bisa ngomong bahasa Mandarin dan nggak punya nama cina :))

terima kasih ya, Koh Ernest dan Teh Meira (sok kenal banget sih, van~) sudah memberikan tayangan yang menghibur, menyentuh, membuat berefleksi, membuat hati hangat, menginspirasi. semoga keluarga kalian selalu dilimpahi berkat dan kebahagiaan dari Tuhan yang Maha Keren! :D


11 Januari 2017
12.45 AM
beberapa jam setelah nonton film CTS


Stella Vania
@vania_ps


PS: HARTA YANG PALING BERHARGA ADALAAAHHH...... (apa sodara sodaraaaaa???) :D