selain cerita si bintang

10 Desember 2016

monokrom

hi there!
sudah lama sekali sebenarnya saya pengen nulis ini, syukurlah akhirnya sekarang kesampaian.
2016 sudah hampir selesai. salah satu target besar saya di 2016 sudah tercapai: #2016SPsi. tapi saya sungguh sadar perjuangan menuju #2016SPsi ini akan makin susaaahhh kalau nggak ada orang-orang hebat yang menjadi teman seperjalanan saya. untungnya, Pak Prof, dosen pembimbing saya nggak keberatan saya nulis kata pengantar sebanyak lima halaman HAHAHA :))
meski gitu, rasanya nggak afdol kalau belum nulis ucapan terima kasih itu di sini.

Sepuluh semester dan khususnya empat belas bulan pengerjaan skripsi ini menjadi sebuah perjalanan yang luar biasa. Sebuah perjalanan yang menantang. Sebuah perjalanan yang tidak hanya demi mendapatkan gelar dan sehelai ijazah, tapi sebuah perjalanan yang mengembangkan saya sebagai seorang pribadi. Sebuah perjalanan yang tidak saya lalui sendiri, tetapi bersama begitu banyak orang hebat. Dengan setulus hati, saya ingin berterimakasih pada teman-teman seperjalanan saya.
1. Tuhan yang Tiga-Tapi-Satu, Ayah di atas segala ayah, yang Maha Baik, Maha Keren, Maha Gaul, Maha Romantis, Maha Humoris, Maha Tidak Terduga, Maha Segalanya! Terima kasih sudah mengizinkan saya menjalani kisah luar biasa ini. Terima kasih juga pada Bunda Maria untuk teladan “fiat mihi voluntas tua”.
2. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya selaku dosen pembimbing akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar mendampingi saya selama perkuliahan dan penulisan skripsi ini. Terima kasih sudah mengingatkan bahwa proses menulis skripsi juga merupakan hal yang bermakna bagi pengembangan diri.
3. Mama Maria Magdalena Hidayati, Papa Agustinus Gatot Moertidjono, Kakak Octavianus Indra Saputra dan seluruh keluarga yang selalu menyertai dan mendukung saya. Terima kasih karena kalian selalu bisa menjadi tempat untuk saya pulang.
4. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, dan segenap jajaran Dekanat.
5. Ibu Dr. Tjipto Susana, M.Si. dan Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku dosen penguji. Terima kasih atas diskusi dan masukan yang diberikan untuk membuat skripsi ini menjadi lebih baik.
6. Para dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang tidak hanya memberi ilmu pada saya, tapi juga pelajaran hidup.
7. Mas Muji, untuk semua bantuan dan dukungannya, baik selama kuliah maupun selama skripsi ini. Terima kasih banyak. Pengambilan data skripsi ini nggak bakal lancar tanpa bantuan Mas Muji, glory! Terima kasih juga untuk Bu Nanik, Mas Gandung dan Pak Gie, serta Mas Doni, untuk segala bantuan, dukungan, senyum dan semangatnya.
8. Kepada teman-teman, ibu/bapak/suster/frater guru dan karyawan yang saya temui di TK, SD, SMP dan SMA. Terima kasih sudah menambah pengetahuan saya tentang hidup.
9. Para partisipan dan ibu. Terima kasih sudah bersedia berbagi kisah hidup, perasaan, dan pikiran. Semoga penelitian ini sungguh memberi manfaat bagi Anda sekalian.
10. Keluarga besar SD Pangudi Luhur Yogyakarta, terutama Bruder Teguh, FIC selaku kepala sekolah yang telah mengizinkan penelitian ini berlangsung, serta Bu Ida yang membantu menghubungkan saya dengan para partisipan.
11. Tante Lucia Erikawati, yang banyak membantu peneliti, dari mulai menghubungkan ke pihak sekolah, berbagi kisah hidup, semangat dan tawa. Juga untuk Tante Damian Alma yang selalu memberi semangat. Terima kasih banyak.
12. Teman-teman “masih remaja”: Acil, Ria dan Retha. Terima kasih buat kebersamaan selama kuliah dan khususnya bantuan selama pengambilan data. Aku mah apa tanpa kalian :D
13. “Anak-anak professor”: Pika, Kak Engger, Maria, Rhintan, Fitria, Yoverdi, Tara, Dedew, Pakdhe, Kak Lala, Tama, Ria, Gaby, Rikjan, Raras, Delima, Gege. Terima kasih untuk kebersamaan dan bantuannya. Semangat selalu, teman-teman!
14. Sahabat terbaik, Stefi. Terima kasih sudah menjadi teman berbagi cerita dan pelukan hangat. Juga untuk sahabat dan teman sharing saya yang lain: Dita dan Dista, Ocha dan Lisa, Bertha, Mbak Anne, Mas Adit “Mbek”, Mas Gigih, Papa PJ, Koh Yan, Mas Eko “Mprit”, Om Beni, Kak Mahatma. Terimakasih untuk segala ketulusan dan kesediaan berbagi kisah hidup.
15. Genk Kepo: Romo Sani, Eli, Febri yang selalu “care pol”. Juga seluruh pendamping, pengurus, anggota dan orangtua Papita yang telah mendukung dan belajar bersama saya. Terima kasih sudah menjadi keluarga kedua selama kurang lebih 14 tahun ini. Ad Maiora Natus Sum!
16. Seluruh Jesuits yang saya kenal, terutama di seputar Kotabaru, Kolsani, Paingan dan Mrican. Terima kasih untuk setiap pertanyaan, “Sudah sampai mana?” dan “Kapan selesai?”, untuk setiap komentar, “Wah, menarik nih!”, juga untuk segala obrolan, traktiran dan gojeg-an. Special thanks to Romo Krispurwana “Mokis”, “bapak” saya. Untuk “Omor” Bambang Sipayung, partner diskusi yang asyik, hingga muncul ide untuk topik skripsi ini. Untuk Romo Kokok, tutor dan teman diskusi soal symbolic father. Untuk Frater “Paman” Thomas, Romo “Kokoh” Buddy Haryadi, Romo Surjo, Romo Heri, Romo “Masbro” Tomi, Romo “galak” Adri, dan Frater “Broer” Angga untuk dukungan pemikiran, pengalaman dan semangat untuk penelitian ini.
17. Semua teman-teman di Gereja St. Antonius Kotabaru, terutama teman-teman Tim EKM Kotabaru yang memberi begitu banyak kesempatan untuk belajar dan mengembangkan diri. Ad Maiorem Dei Gloriam!
18. Para warga dampingan, anak-anak dan volunter Perkampungan Sosial Pingit. Terima kasih untuk semangat berjuang bersama melayani dan semua pelajaran hidup yang boleh dibagikan.
19. Para rekan di Campus Ministry Universitas Sanata Dharma. Terima kasih sudah mengajak saya belajar sesuatu yang belum pernah saya coba, yang sangat berguna bagi skripsi ini.
20. Participants of Service Learning Program batch 7: Adhi, Bagas, Enno, Indri, Ayang, Aaya, Linlin, Natsuki, Morgan, Shaira, Darlene, Nadya, Anselmo, Joey, Kuya Barry, Francis, John Chin, Mayuko, Seia, Hoto, Emi, Ron. For my foster family (Siarot family), and the staffs from Xavier University – Ateneo de Cagayan. And for Glaiza. Thank you so much for the experiences and friendship! Also for Ms Tata, Pak Chosa, Miss Sisca, Mas Anton, Kak Risca, Mas Risang, Kak Kukun, SLP batch 6, GLP batch 7, SLP batch 8. Thank you for your helps, laughs, love and life-lessons.
21. Teman-teman BEMF Psikologi 2013/2014 yang sampai sekarang masih sering ribut di grup, kadang kalian jadi hiburan tersendiri haha long live my family!
22. Seluruh teman-teman Psikologi angkatan 2011, terima kasih untuk segala dinamika selama sepuluh semester ini. Juga untuk kakak-kakak dan adik-adik angkatan. Let’s find our way in Psychology! See you on top!
23. Pak Nug, yang selalu setia mengantar saya ke mana pun dan kapan pun sejak saya TK. Juga untuk semua mbak-mbak asisten rumah tangga yang mengasuh dan membantu mencukupi kebutuhan saya. Terimakasih sudah momong saya.
24. Kepada para keluarga yang mengizinkan saya belajar banyak hal tentang keluarga.
25. Google, Facebook, Twitter, Path, YouTube, radio, TV, koran, dll yang dengan cara mereka sendiri berkontribusi dalam skripsi ini, secara langsung maupun tidak.
26. Terima kasih setulusnya kepada Mateus Lesnanto, rekan bertukar pendapat, penyemangat, pengingat dan sahabat. Good luck for your next journey!
27. Terima kasih untuk Anda! Silakan tulis nama Anda di sini ………………………
Terima kasih sudah mewarnai hidup saya! :)

terima kasih juga untuk semua cinta yang ditunjukkan lewat dukungan, kehadiran dan pemberian ketika saya pendadaran. kebetulan saya diberi kesempatan untuk "pendadaran dua kali" :))
pemanis di hari Kamis :p

kado pendadaran sesungguhnya di hari Senin, nuwun! :)

bukan penonton bayaran :p 

Pak Prof yang sebelum foto ini sempat tanya, "Lho, pacarmu mana, Vania?"
nggak punya Paakkk! :))
ketika saya wisuda pun beberapa teman seperjalanan saya lagi-lagi ikut heboh dengan memberikan pelukan, berbagi keceriaan dan memberi beberapa kenang-kenangan. terima kasih!
kembang beneran, kembang api, coklat, pop up, boneka <3


sebagian anggota Tengger Psikologi A di malam pelepasan :)

keluarga Bener :D

volunter Perkampungan Sosial Pingit :D

"masih" remaja: Retha, Ria, Acil :)

Tephie :)
dari Om Lemmu, omnya @apinganit :)
dan ini, kenang-kenangan paling fenomenal dan tidak terduga :))
dosen pembimbing saya, Prof. Dr. A. Supratiknya mempersembahkan sebuah lagu berjudul "All I Ask of You", bersama Gaby dan SS. terima kasih, Pak! luar biasa sekali, sampai terharu saya :")


beberapa waktu setelah saya menyelesaikan skripsi saya, salah satu musisi favorit saya, Tulus, meluncurkan album barunya yang berjudul Monokrom. ketika mendengar lagu dengan judul yang sama, saya langsung terharu karena teringat warna-warna yang ditorehkan teman-teman seperjalanan saya. mungkin itu ya sebabnya kenapa kalau pendadaran pakainya baju putih-hitam. supaya ingat pribadi-pribadi lain yang memberi warna pada hidup kita :)) #meksobanget
beberapa waktu setelah saya wisuda pun Tulus meluncurkan official music video dari lagu Monokrom, mungkin ini cara semesta untuk mengingatkan saya melaksanakan niat yang sudah muncul sejak lama tapi belum juga direalisasikan. maka melalui postingan ini, saya pun ingin mempersembahkan lagu Tulus yang berjudul Monokrom untuk semua teman-teman seperjalanan saya, baik yang tertulis di atas maupun yang masih di titik-titik nomor 27 itu :D


Tulus - Monokrom
Lembaran foto hitam putih
Aku coba ingat lagi warna bajumu kala itu
Kali pertama di hidupku
Manusia lain memelukku

Lembaran foto hitam putih
Aku coba ingat lagi wangi rumah di sore itu
Kue cokelat balon warna-warni
Pesta hari ulang tahunku

Di mana pun kalian berada
Kukirimkan terima kasih
Untuk warna dalam hidupku dan banyak
kenangan indah
Kau melukis aku

Lembaran foto hitam putih
Kembali teringat malam kuhitung-hitung bintang
Saat mataku sulit tidur
Suaramu buatku lelap

Di mana pun kalian berada
Kukirimkan terima kasih
Untuk warna dalam hidupku dan banyak
kenangan indah
Kau melukis aku

Kita tak pernah tahu berapa lama kita
Diberi waktu
Jika aku pergi lebih dulu jangan lupakan aku
Ini lagu untukmu
Ungkapan terima kasihku

Lembar monokrom hitam putih
Aku coba ingat warna demi warna di hidupku
Tak akan kumengenal cinta
Bila bukan karena hati baikmu



I am really nothing without you! <3


Sabtu, 10 Desember 2016
with love,

Stella Vania Puspitasari, S.Psi.
(sekali-sekali nulis gelar boleh yaaaa :p)


PS: kalau mau pesan bunga-bunga kayak yang di foto bisa cari di IG @agrojayaflorist atau IG @ad_mooi_florist atau ke temen saya @tivakoeswojo, kalau mau handicraft unyu unyu bisa cek IG @allpartygimmicks atau ke temen saya @arum_acil #ujungujungnyapromosi :))

08 Oktober 2016

#50thPingit: Berjuang Bersama Melayani

Berjuang Bersama Melayani. Frasa ini dipilih sebagai tema perayaan ulang tahun Perkampungan Sosial Pingit ke 50. Pesta emas, kata banyak orang. Tema ini pertama kali terlontar di Raker pas valentine 2016, terimakasih Mas Win!
Datang ke Pingit pertama kali pada 2010 dan mulai aktif sejak 2013 membuat saya merasa frasa “Berjuang Bersama Melayani” sungguh relevan dengan pengalaman saya di Pingit. Dari frasa itu sebenarnya bisa dibagi dua perjuangan, yakni “berjuang bersama” dan “berjuang melayani”.

Berjuang Bersama
Sebagai seorang introvert yang pendiam dan pemalu (cieee), saya akui saya punya masalah dengan menjalin relasi sosial dengan orang lain. Sejak pertama kali saya main ke Pingit pada 2010, saya agak malu. Inferioritas saya muncul. Saya mah apa dibanding kakak-kakak volunteer yang hebat banget di masa itu. Syukur pada Allah, waktu itu saya sempat diajak makan setelah Pingit selesai, di nasgor Teh Ida, jadi kekakuan mulai mencair. Apalagi, di luar Pingit kami juga beberapa kali ketemu dan ngobrol. Meski gitu, ketika di Pingit, tetep aja saya ngerasa minder.
Ketika saya mulai rutin aktif tahun 2013, sifat saya yang pendiam, pemalu dan minderan ini tetep nggak hilang. Waktu itu saya mikir, mungkin karena saya masih baru kali ya, jadi nggak pede. Eh, ternyata sampai sekarang nggak hilang lho perasaan itu, padahal sekarang saya udah termasuk golongan tua di Pingit (hiks…)
Dulu, sekitar tahun 2013-2014, setiap saya mau turun ke Pingit dari masjid, saya selalu deg-degan nggak karuan. Cemas luar biasa. Entah apa yang dicemaskan, ya cemas mau ketemu anak-anak, ya cemas mau ketemu para volunteer.
Saya pun merasa saya nggak punya banyak teman akrab yang bener-bener akrab di Pingit, maksudnya terus jalan-jalan atau curhat-curhat di luar urusan Pingit, kecuali para frater atau mantan fraternya HAHAHAHA :))
Apalagi, saya adalah orang yang cenderung task oriented. Saya jarang ikut nongkrong di angkringan setelah Senin-Kamis di Pingit, jadi selain kurang bisa cepet akrab sama temen-temen, saya juga kurang update gosip deh hahaha :p
Ketika outing, baik volunteer doank atau bersama warga, saya juga beberapa kali merasa “sendiri di tengah keramaian” (cie kek lagu aja nih)
Beberapa waktu belakangan, saya makin merasa “berjuang bersama” ini tidak hanya perjuangan saya, tapi juga perjuangan para volunteer yang lain. Semoga saya salah, tapi saya merasa ada beberapa gap yang terjadi antara volunteer, entah lama-baru, grup A dan B, entah apa lagi yang memisahkan. Sekali lagi, semoga saya salah dan itu hanya perasaan saya saja, seorang yang memang pendiam dan pemalu.
Usaha untuk berjuang bersama ini terasa saat kegiatan Senin-Kamis selama satu semester, maupun dalam menyiapkan rangkaian pesta emas Pingit. Beberapa contoh yang pernah terjadi misalnya ada volunteer yang “menghilang” karena harus mengerjakan sesuatu yang lebih urgent bagi hidupnya, entah skripsi (kayak saya), bekerja, atau yang lain. Lalu ada volunteer yang nggak datang saat harusnya mengisi kelas atau area bersama tanpa pemberitahuan sebelumnya. Volunteer yang menyiapkan bahan ngajar hanya menyiapkan sendiri, sampai volunteer yang lain yang masuk kelas nggak kegiatan hari itu mau apa dan bingung mau bantu apa (curhat banget ya saya, maaf ya saya kurang koordinasi haha). Pas kerjain sesuatu, bahkan pas Pingit circle atau pas raker cuma ngomong seperlunya, jadi ada kesan garing dan kurang kenal satu sama lain (lagi-lagi saya ngaku saya pelakunya hehe). Mungkin itu masalah klasik yang tidak hanya terjadi di Pingit. Tapi tetap saja ini menjadi bukti bahwa untuk bersama, perlu perjuangan.
Perjuangan untuk “bersama” ini sebenarnya nggak hanya terjadi di antara para volunteer, tapi juga antara volunteer dengan warga dampingan maupun warga kampung, antara volunteer dengan anak-anak, antara sesama warga maupun sesama anak. Pernah suatu kali volunteer mau ngajak anak tampil nari. Anak-anak sudah latihan dan ketika hari H, anak-anak dijemput. Tapi ada salah satu orangtua yang sempat tidak mengizinkan anaknya pergi. Setelah dikasih penjelasan, akhirnya orangtua itu mengizinkan.
Lalu yang sering terjadi juga para warga dampingan melakukan sesuatu yang tidak sesuai semangat dan gerak bersama. Mulai dari hal yang sederhana kayak nggak melaksanakan tugas yang dikasih (menyiram tanaman atau menyapu halaman Pingit), sampai hal yang kompleks kayak berantem atau selingkuh sama warga lain yang membuat orang itu diusir dari Pingit. Macem-macem banget deh ceritanya.

Berjuang Melayani
Jelas, melayani adalah sebuah perjuangan. Nggak mudah untuk memberi sesuatu pada orang lain, di saat kita sendiri merasa kekurangan. Nggak mudah untuk melakukan sesuatu di luar kebiasaan kita, di luar zona nyaman kita. Nggak mudah untuk bertemu orang-orang baru, kaum pinggiran, yang berbeda budaya dengan kita, yang cara berpikirnya sama sekali berbeda dengan cara berpikir kita. Tapi di sisi lain, nggak mudah juga untuk memberi dengan tulus, tanpa mengharap imbalan, tanpa keinginan untuk dianggap baik, tanpa pujian.
Beberapa tahun lalu, ada salah satu anak Pingit yang sempat nggak mau masuk kelas. Dia naik dari kelas TK ke SD kecil, tapi di SD kecil malah nggak mau masuk kelas, padahal paling rajin di TK. Ada aja alasannya, tapi alasan yang paling sering dipakai sakit perut. Akhirnya dia pun belajar di perpus atau di ruang evaluasi, saya temani. Lama-lama, dia malah jadi agak tergantung gitu sama saya. Sebenarnya enak lho merasa ditergantungi kayak gitu, semacam merasa dibutuhkan hehehe tapi kasihan anaknya. Maka akhirnya saya sadar dan minta volunteer lain bergantian menemani dia belajar. Sekarang anak itu sudah mau masuk kelas, mau ikut tampil, dsb. Senang sekali lihatnya, meski nggak mudah, karena saya sadar saya punya kecenderungan untuk ingin selalu jadi yang utama :D
Bagi saya sendiri, frasa “berjuang melayani” sungguh perjuangan yang nyata. Saya belajar untuk menekan ego saya sendiri, untuk mengapresiasi orang lain yang sungguh jauh lebih keren dari saya. Setiap kali raker, saya sebenernya sedikit banyak merasa minder, karena para volunteer semakin hari punya ide dan semangat yang keren bangetttt! Saya jadi ngerasa kayak butiran upil yang dipeperin di bawah meja gitu ‘3’)
Maka, sebutan ‘bunda Pingit’ yang disematkan ke saya, walau bercanda, itu sedikit banyak jadi beban buat saya. Saya tidak merasa cukup pantas untuk menerima sebutan itu, yang saya lakukan di Pingit itu masih sedikit banget deh dibanding beberapa teman volunteer yang lain. Kayaknya saya cuma menang lama doank sih, bukan menang karya hehe

Beberapa waktu lalu, ketika menyusun tulisan ini, saya ditanya, apa manfaat jadi volunteer di Pingit. Jujur saya bingung mau jawab apa hahaha… Tapi perjumpaan dan dinamika saya bersama para warga, anak-anak dan para volunteer, termasuk para “legenda” Pingit seperti Opa Kieser dan Bu Sum, membuat saya terus bertanya, apa lagi yang masih bisa saya lakukan. Maka saya pernah mencoba macem-macem di Pingit, dari mulai masuk kelas TK, mengurus perpustakaan, membantu para warga, mengajar di kelas khusus, mengantar ke panti asuhan, mengantar anak-anak lomba atau tampil, sampai sekarang membantu di humas. Tapi di sisi lain, saya sekaligus belajar untuk berani bilang stop, supaya volunteer lain bisa mencoba dan berkembang, supaya semakin banyak pribadi-pribadi penuh kasih yang berbagi bersama anak-anak, para warga dan para volunteer di Pingit.

Sekali lagi, selamat ulang tahun ke 50, Perkampungan Sosial Pingit. Terimakasih untuk segala pengalaman dan pelajaran untuk berjuang bersama melayani. Semoga semakin keren, semakin oke, semakin asyiiikkk~

foto diambil dari FB Pingit Berbagi. kuenya enak banget sumpah!


Seminggu pasca #MalamPuncak #50thPingit #PestaEmasPingit
Sabtu, 8 Oktober 2016


mbak mimin

30 April 2016

curahan hati seorang nebenger :p

Mumpung masih April, saya mau ikutan ngomong soal perempuan dan emansipasi, ah. Tapi kali ini agak lebih spesifik dan agak curhat (nggak apa-apa kan ya sodara sodari? :D) 

Banyak orang mengaitkan perempuan dengan kecerobohan (atau kengawuran) dalam hal berkendara di jalanan. Bahkan banyak meme tentang hal ini. Beberapa di antaranya:
sumber

sumber
Saya sendiri pun sering mengalami hal ini. (Nah, curhatnya dimulai :p)

Walaupun saya belum menjadi seorang anak jalanan, eh maksudnya, pengendara di jalanan, tapi saya cukup sering mendengar komentar tentang perempuan yang berkendara. Komentar yang sering saya dengar biasanya dari Papa, misalnya, “Wah, wedhok ki mesthi!” (Wah, cewek ini pasti!). Komentar itu biasanya terlontar ketika ada kendaraan yang nggak jelas mau ke kanan atau ke kiri alias terlalu di tengah, atau kendaraan yang tiba-tiba belok tanpa lampu sein, atau kendaraan yang lama jalannya di lampu merah, atau kendaraan yang parkirnya kurang minggir. Komentar itu sering terlontar bahkan ketika Papa nggak lihat yang berkendara itu perempuan atau laki-laki. Itulah yang disebut stereotip. Semakin saya dewasa, ternyata stereotip bahwa perempuan suka berkendara ngawur ternyata nggak cuma terlontar dari Papa saya, tapi juga beberapa teman laki-laki saya. 

Ternyata, stereotip macam ini nggak cuma di sekitar saya saja, tapi bahkan ada di beberapa negara! Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa memang perempuan memiliki kemampuan spasial yang cenderung lebih rendah dibandingkan laki-laki (semoga saya nggak salah. Untuk lebih jelasnya, silakan baca di sini. Maafkan saya yang malas merangkumkannya untuk Anda :p)

Berdasarkan pengalaman saya, stereotip itu tidak menjadikan perempuan lebih ahli dalam berkendara. Sebaliknya, ucapan-ucapan macam itu malah menurunkan efikasi diri para perempuan. (Baiklah, ini saya curhat lagi :p)
Mendengar komentar semacam itu sejak kecil membuat saya kini tidak mudah percaya pada kemampuan saya sendiri soal berkendara. Persepsi bahwa “saya tidak bisa” sepertinya sudah mengakar dalam diri saya, dan hal ini bukanlah sesuatu yang mudah diubah. Mungkin, hal ini tidak hanya terjadi pada saya, tapi juga pada perempuan-perempuan lain. Mungkin. 

Hal lain yang membuat saya tambah jengkel adalah komentar Papa untuk saya di lain kesempatan. Suatu kali, ketika sedang tidak di jalanan, Papa berkata pada saya, “Mbok berani gitu lho nyetir, masak gitu aja nggak berani, kan udah belajar.” Sementara sesaat kemudian ketika Papa menyetir, komentar, “Wah wedhok iki mesthi! Gombal!”, kembali terucap.
Saya pun cuma bisa melongo. Dalam hati saya bilang, “Dhuh Gusti… Pa, anak wedhokmu ini nggak berani kan juga karena komentarnya Papa ituuuuu…” #tepokjidat

Sebenarnya nggak salah juga komentar macam itu terlontar, toh memang orang yang berkendara itu salah. Toh memang hal itu sangat menyebalkan. Toh seringkali saya juga misuh-misuh kalau ada yang berkendara secara ngawur di jalanan. Ya, namanya juga meluapkan perasaan. 
Tapi percayalah, komentar stereotip macam itu hanyalah emotional focused coping, alias cuma berguna bagi meredanya perasaan kesal kita saja. Komentar stereotip macam itu (mungkin) tidak menyelesaikan permasalahan yang sesungguhnya. Komentar stereotip macam itu tidak membuat keadaan (para perempuan) bertambah baik. 

Lalu, bagaimana caranya supaya keadaan bertambah baik?
Nah, soal ini saya juga masih bertanya-tanya, termasuk pada diri saya sendiri. Hehehe... :D


Tetap semangat, para perempuan!
Baik laki-laki maupun perempuan, tetap berhati-hati dalam berkendara yaaa! :D




Sabtu, 30 April 2016
seorang nebenger,


Vania

01 Januari 2016

little stories in 2015

Hello folks! Long time no see :D
Firstly I hope you had merriest Christmas and happiest new year! 
Just like the other people (okay, I know I am mainstream hehe) I tried to find out what my best nine photos in Instagram. And now I want to share it with you.
1. In 2015, I made at least two big decisions, and one of them was cut my hair. That's my first time having a short hair, just like when I was 4 years old hahahaha 
That's a "beautiful mistake" I think, because I didn't plan to cut that short, but I love my new hairstyle, look so fresh, isn't it? :D

2. Just like the previous years, in 2015 I engaged to Jesuits' ordination. But I think my engagement last year was special because almost all of the new Fathers is my friend. So last year I attended 5 first masses (actually there were 7 new Fathers, but I couldn't attend all of the first masses). In the photo, that was Romo Sani, one of the most "care pol" person I've ever met :p

3. Well yeah, in 2015 I (still) had good times with PAPITA, it's already 13 years, anyway. WOW! Papita is not everything, but everything could happen in Papita #eaaa

4. In 2015 I also still engaged in Perkampungan Sosial Pingit. I learned a lot, not only about how to teach or how to be more empathetic, but I also learned to struggling with myself, my feelings, my thoughts, my idealism etc. In short, my engagement in Pingit help me to develop as a person. Anyway, this year, 2016, Pingit will be 50 years old! #PestaEmasPingit

5. Another #TourToTheTemples session. That was a moment before sunset at the highest temple in Jogja, Candi Ijo.

6. I had so much fun with my nephews and nieces in 2015! Well, that photo taken just a day after a big decision I made in 2015 hehe :D in 2015, I had a chance to literally took care of them for several days and nights hehehe I am very grateful to be an aunt for cute, funny, creative kids. I also had a new cousin and two new nephews last year, so I am an aunt for 8 kids! Hahaha :D

7. One of my best friend said to me that family will always love you unconditionally, always accept you and give you support, no matter what. In 2015, I really learned to find and give meaning to the words "family". And yeah, I couldn't be happier to be a part of this family. :)

8. Joining Campus Ministry's Media and Publication team was another highlight of my 2015. I met many great people (including my "twin", Jokpin), I learned a lot about organizing an event, I learned a lot through the conversations, I learned a lot about life. 

9. One of 'our job' as media and publication team was share the stories about some Sanata Dharma's students who bike from Jogja to Bali, to campaign about autism and mangrove. Of course I wasn't bike from Jogja to Bali, but I learned from their spirit to do something for others. Anyway, in 2015, I also (actually I am forced) to learn how to bike HAHAHAHA :p 

Yeah, for me 2015 is an epic year. I had so many new things, including new status #EH :))
I think my biggest lesson learned in 2015 was "following my deepest heart". You can always use mask, you can always looks good in front of other people, but your heart will never lie. Whatever the consequences, just face it. 
Thank you for everyone who helped me "find myself" in 2015, there are so many BEST people around me, I can't mention them one by one, but I always whisper their name on my prayers ;)
I'm sure that they are present from God. Prayers, joys, hugs, ears to listened to my stories, even tears we shared together, that's really mean to me. I am so blessed. I hope our friendship also give something that meaningful to you, guys! ;)

Once again, happy new year! Hope you will have a great journey in 2016.

Emmm...
I just had a wish for 2016: get my bachelor degree. What's next? Well, just wait what my deepest heart say :p


Happy holidays!

First day of 2016,
Stella Vania Puspitasari (soon to be S.Psi.) :D