selain cerita si bintang

08 Oktober 2016

#50thPingit: Berjuang Bersama Melayani

Berjuang Bersama Melayani. Frasa ini dipilih sebagai tema perayaan ulang tahun Perkampungan Sosial Pingit ke 50. Pesta emas, kata banyak orang. Tema ini pertama kali terlontar di Raker pas valentine 2016, terimakasih Mas Win!
Datang ke Pingit pertama kali pada 2010 dan mulai aktif sejak 2013 membuat saya merasa frasa “Berjuang Bersama Melayani” sungguh relevan dengan pengalaman saya di Pingit. Dari frasa itu sebenarnya bisa dibagi dua perjuangan, yakni “berjuang bersama” dan “berjuang melayani”.

Berjuang Bersama
Sebagai seorang introvert yang pendiam dan pemalu (cieee), saya akui saya punya masalah dengan menjalin relasi sosial dengan orang lain. Sejak pertama kali saya main ke Pingit pada 2010, saya agak malu. Inferioritas saya muncul. Saya mah apa dibanding kakak-kakak volunteer yang hebat banget di masa itu. Syukur pada Allah, waktu itu saya sempat diajak makan setelah Pingit selesai, di nasgor Teh Ida, jadi kekakuan mulai mencair. Apalagi, di luar Pingit kami juga beberapa kali ketemu dan ngobrol. Meski gitu, ketika di Pingit, tetep aja saya ngerasa minder.
Ketika saya mulai rutin aktif tahun 2013, sifat saya yang pendiam, pemalu dan minderan ini tetep nggak hilang. Waktu itu saya mikir, mungkin karena saya masih baru kali ya, jadi nggak pede. Eh, ternyata sampai sekarang nggak hilang lho perasaan itu, padahal sekarang saya udah termasuk golongan tua di Pingit (hiks…)
Dulu, sekitar tahun 2013-2014, setiap saya mau turun ke Pingit dari masjid, saya selalu deg-degan nggak karuan. Cemas luar biasa. Entah apa yang dicemaskan, ya cemas mau ketemu anak-anak, ya cemas mau ketemu para volunteer.
Saya pun merasa saya nggak punya banyak teman akrab yang bener-bener akrab di Pingit, maksudnya terus jalan-jalan atau curhat-curhat di luar urusan Pingit, kecuali para frater atau mantan fraternya HAHAHAHA :))
Apalagi, saya adalah orang yang cenderung task oriented. Saya jarang ikut nongkrong di angkringan setelah Senin-Kamis di Pingit, jadi selain kurang bisa cepet akrab sama temen-temen, saya juga kurang update gosip deh hahaha :p
Ketika outing, baik volunteer doank atau bersama warga, saya juga beberapa kali merasa “sendiri di tengah keramaian” (cie kek lagu aja nih)
Beberapa waktu belakangan, saya makin merasa “berjuang bersama” ini tidak hanya perjuangan saya, tapi juga perjuangan para volunteer yang lain. Semoga saya salah, tapi saya merasa ada beberapa gap yang terjadi antara volunteer, entah lama-baru, grup A dan B, entah apa lagi yang memisahkan. Sekali lagi, semoga saya salah dan itu hanya perasaan saya saja, seorang yang memang pendiam dan pemalu.
Usaha untuk berjuang bersama ini terasa saat kegiatan Senin-Kamis selama satu semester, maupun dalam menyiapkan rangkaian pesta emas Pingit. Beberapa contoh yang pernah terjadi misalnya ada volunteer yang “menghilang” karena harus mengerjakan sesuatu yang lebih urgent bagi hidupnya, entah skripsi (kayak saya), bekerja, atau yang lain. Lalu ada volunteer yang nggak datang saat harusnya mengisi kelas atau area bersama tanpa pemberitahuan sebelumnya. Volunteer yang menyiapkan bahan ngajar hanya menyiapkan sendiri, sampai volunteer yang lain yang masuk kelas nggak kegiatan hari itu mau apa dan bingung mau bantu apa (curhat banget ya saya, maaf ya saya kurang koordinasi haha). Pas kerjain sesuatu, bahkan pas Pingit circle atau pas raker cuma ngomong seperlunya, jadi ada kesan garing dan kurang kenal satu sama lain (lagi-lagi saya ngaku saya pelakunya hehe). Mungkin itu masalah klasik yang tidak hanya terjadi di Pingit. Tapi tetap saja ini menjadi bukti bahwa untuk bersama, perlu perjuangan.
Perjuangan untuk “bersama” ini sebenarnya nggak hanya terjadi di antara para volunteer, tapi juga antara volunteer dengan warga dampingan maupun warga kampung, antara volunteer dengan anak-anak, antara sesama warga maupun sesama anak. Pernah suatu kali volunteer mau ngajak anak tampil nari. Anak-anak sudah latihan dan ketika hari H, anak-anak dijemput. Tapi ada salah satu orangtua yang sempat tidak mengizinkan anaknya pergi. Setelah dikasih penjelasan, akhirnya orangtua itu mengizinkan.
Lalu yang sering terjadi juga para warga dampingan melakukan sesuatu yang tidak sesuai semangat dan gerak bersama. Mulai dari hal yang sederhana kayak nggak melaksanakan tugas yang dikasih (menyiram tanaman atau menyapu halaman Pingit), sampai hal yang kompleks kayak berantem atau selingkuh sama warga lain yang membuat orang itu diusir dari Pingit. Macem-macem banget deh ceritanya.

Berjuang Melayani
Jelas, melayani adalah sebuah perjuangan. Nggak mudah untuk memberi sesuatu pada orang lain, di saat kita sendiri merasa kekurangan. Nggak mudah untuk melakukan sesuatu di luar kebiasaan kita, di luar zona nyaman kita. Nggak mudah untuk bertemu orang-orang baru, kaum pinggiran, yang berbeda budaya dengan kita, yang cara berpikirnya sama sekali berbeda dengan cara berpikir kita. Tapi di sisi lain, nggak mudah juga untuk memberi dengan tulus, tanpa mengharap imbalan, tanpa keinginan untuk dianggap baik, tanpa pujian.
Beberapa tahun lalu, ada salah satu anak Pingit yang sempat nggak mau masuk kelas. Dia naik dari kelas TK ke SD kecil, tapi di SD kecil malah nggak mau masuk kelas, padahal paling rajin di TK. Ada aja alasannya, tapi alasan yang paling sering dipakai sakit perut. Akhirnya dia pun belajar di perpus atau di ruang evaluasi, saya temani. Lama-lama, dia malah jadi agak tergantung gitu sama saya. Sebenarnya enak lho merasa ditergantungi kayak gitu, semacam merasa dibutuhkan hehehe tapi kasihan anaknya. Maka akhirnya saya sadar dan minta volunteer lain bergantian menemani dia belajar. Sekarang anak itu sudah mau masuk kelas, mau ikut tampil, dsb. Senang sekali lihatnya, meski nggak mudah, karena saya sadar saya punya kecenderungan untuk ingin selalu jadi yang utama :D
Bagi saya sendiri, frasa “berjuang melayani” sungguh perjuangan yang nyata. Saya belajar untuk menekan ego saya sendiri, untuk mengapresiasi orang lain yang sungguh jauh lebih keren dari saya. Setiap kali raker, saya sebenernya sedikit banyak merasa minder, karena para volunteer semakin hari punya ide dan semangat yang keren bangetttt! Saya jadi ngerasa kayak butiran upil yang dipeperin di bawah meja gitu ‘3’)
Maka, sebutan ‘bunda Pingit’ yang disematkan ke saya, walau bercanda, itu sedikit banyak jadi beban buat saya. Saya tidak merasa cukup pantas untuk menerima sebutan itu, yang saya lakukan di Pingit itu masih sedikit banget deh dibanding beberapa teman volunteer yang lain. Kayaknya saya cuma menang lama doank sih, bukan menang karya hehe

Beberapa waktu lalu, ketika menyusun tulisan ini, saya ditanya, apa manfaat jadi volunteer di Pingit. Jujur saya bingung mau jawab apa hahaha… Tapi perjumpaan dan dinamika saya bersama para warga, anak-anak dan para volunteer, termasuk para “legenda” Pingit seperti Opa Kieser dan Bu Sum, membuat saya terus bertanya, apa lagi yang masih bisa saya lakukan. Maka saya pernah mencoba macem-macem di Pingit, dari mulai masuk kelas TK, mengurus perpustakaan, membantu para warga, mengajar di kelas khusus, mengantar ke panti asuhan, mengantar anak-anak lomba atau tampil, sampai sekarang membantu di humas. Tapi di sisi lain, saya sekaligus belajar untuk berani bilang stop, supaya volunteer lain bisa mencoba dan berkembang, supaya semakin banyak pribadi-pribadi penuh kasih yang berbagi bersama anak-anak, para warga dan para volunteer di Pingit.

Sekali lagi, selamat ulang tahun ke 50, Perkampungan Sosial Pingit. Terimakasih untuk segala pengalaman dan pelajaran untuk berjuang bersama melayani. Semoga semakin keren, semakin oke, semakin asyiiikkk~

foto diambil dari FB Pingit Berbagi. kuenya enak banget sumpah!


Seminggu pasca #MalamPuncak #50thPingit #PestaEmasPingit
Sabtu, 8 Oktober 2016


mbak mimin

2 komentar: