selain cerita si bintang

05 April 2014

Opa Tom dan Mas Anto

Beberapa waktu lalu saya mengikuti seminar tentang Gereja di Indonesia, menurut pandangan Romo Tom Jacobs, SJ, atau yang biasa saya panggil Opa Tom. Jujur saja, mendengar nama Opa Tom, yang pertama muncul dalam benak saya bukanlah kehebatannya sebagai seorang teolog yang memang sudah terkenal, melainkan kenangan bersama beliau, layaknya opa dan cucunya sendiri. Ya, saya mengenal beliau sejak kecil, tapi bukan itu yang pertama-tama ingin saya ceritakan di sini.
Mendengar orang berbagi tentang pemikiran Opa Tom, sebenarnya bukan hal yang baru bagi saya. Tapi entah kenapa, baru kali ini saya menemukan kesamaan antara Opa Tom dan Gereja Santo Antonius Kotabaru, yang kadang saya sebut dengan panggilan sayang “Mas Anto”. Sebenarnya, bukan hal yang mengherankan jika Opa Tom dan Mas Anto memiliki beberapa kesamaan, karena Opa Tom tinggal di seputar Kotabaru selama 42 tahun. Opa Tom mulai tinggal di Kolsani sejak tahun 1966, kemudian pindah ke Pastoran Kotabaru pada 1994.

Terbuka
Beberapa pribadi yang tidak terlalu mengenal Opa Tom seringkali menganggap Opa Tom adalah sosok yang galak, tegas dan kaku. Namun bagi mereka yang mengenal Opa Tom, termasuk lewat karya-karyanya, akan menemukan bahwa Opa Tom adalah pribadi yang terbuka. Opa Tom menerima pertanyaan, saran atau kritik atas karyanya. Bahkan tidak jarang beliau juga mengritik karyanya sendiri.
Keterbukaan Opa Tom juga pernah saya alami sendiri. Sekitar sembilan tahun lalu, saya mengajak Opa Tom bersalaman dengan cara yang khas, dan kemudian salam itu dipakai terus, bahkan oleh teman-teman saya ketika bersalaman dengan Opa Tom. Opa Tom bersedia diajari oleh anak kelas 5 SD, dan bagi saya, ini adalah tanda keterbukaan Opa Tom.
Opa Tom juga sangat menghargai orang lain. Contoh yang paling nampak adalah setiap beliau memimpin ekaristi, ketika lektor hormat ke arah beliau, beliau pun akan berdiri dan menghormat ke arah lektor tersebut. Hal ini memang sederhana, tapi sungguh menunjukkan rasa penghargaan beliau pada orang lain.

Mas Anto sendiri sudah terkenal sebagai gereja yang terbuka. Dari segi gedung gereja, Mas Anto selalu buka setiap hari pukul 05.00-20.00. Selain itu, Mas Anto juga membuka diri bagi siapapun yang mau aktif melayani. Bahkan menurut hasil litbang beberapa tahun lalu, 77% umat yang datang ke Mas Anto adalah warga dari luar Paroki St. Antonius Kotabaru (termasuk saya!).
Keterbukaan Mas Anto juga tampak dari terbentuknya berbagai komunitas yang mewadahi umat. Mewadahi di sini artinya mewadahi minat atau bakat, juga mewadahi kebutuhan umat. Misalnya saja ada komunitas Paguyuban TV Monitor (Patemon), K25+, Komunitas Belajar Teater (KBT) yang akhir-akhir ini akrab disebut Visualizers, Kaum Muda Peduli, Tim Ekaristi Kaum Muda (EKM) dan sebagainya. Ditambah lagi, hampir semua komunitas di Mas Anto ini mengadakan open recruitment, sehingga umat bisa bergabung dengan komunitas-komunitas ini. Sungguh sangat terasa keterbukaannya.
Selain itu, Mas Anto juga membuka diri untuk membantu mereka yang membutuhkan. Contoh sederhana, Mas Anto membantu komunitas-komunitas di dalam maupun luar paroki yang membutuhkan dana dengan tugas pelayanan jaga parkir. Contoh lainnya, Mas Anto secara rutin mengadakan beberapa bakti sosial, seperti donor darah, pemberian bibit ikan pada warga bantaran Kali Code, dan sebagainya.
Mas Anto pun membuka diri pada saudara-saudara yang memiliki agama atau kepercayaan lain. Komunitas Persaudaraan Lintas Iman (PELITA) menjadi buktinya. Meski kini komunitas itu vakum, tapi keberadaan dan usahanya menjadi tanda keterbukaan Mas Anto.

Kontekstual
Dalam seminar tentang Opa Tom beberapa waktu lalu, kata kontekstual seringkali disebut. Begitulah, Opa Tom memang romo landha yang sangat nJawani. Bahkan katanya, beliau sempat ingin mengganti namanya menjadi Sutomo, agar lebih Jawa. Seringkali saya merasa Opa Tom ini lebih Jawa daripada orang Jawa. Romo landha ini sangat fasih berbahasa Jawa, dan jadi salah satu andalan untuk memimpin misa bahasa Jawa di Kotabaru.
Opa Tom juga kontekstual dalam hal berkomunikasi dengan orang lain. Beliau sangat empan papan. Di hadapan mahasiswanya, beliau berlaku sebagai dosen, tapi di balik mimbar beliau adalah romo yang homilinya selalu jadi favorit. Kalau beliau merasa terusik, galaknya minta ampun, tapi di depan orang yang baik-baik saja dengannya, beliau pun akan bersikap baik.
Karena kontekstual itu tadi, Opa Tom menjadi romo favorit di semua kalangan, baik lansia, ibu-ibu, bapak-bapak, anak-anak, remaja dan kaum muda. Opa Tom menjadi langganan memimpin misa anak. Bahkan Opa Tom yang sampun sepuh itu juga pernah memimpin Ekaristi Kaum Muda (EKM), hal yang (saat itu) membuat saya kaget.
Opa Tom dan beberapa kaum muda dan (saya, saat itu) kaum akan muda :p

Kata kontekstual juga tidak bisa dilepaskan dari Mas Anto. Teks misa di Mas Anto dibuat oleh umat, dalam hal ini Tim Liturgi, yang berangkat juga dari isu atau keprihatinan yang dialami umat. Rupanya, hal ini tidak berlaku di semua gereja (saya juga baru tahu setelah mengikuti sharing dengan tim liturgi beberapa paroki lain).
Selain itu, Mas Anto pun memiliki beberapa “ekaristi khusus”, misalnya saja Ekaristi Kreatif Anak (EKA), Ekaristi Kaum Remaja (EKR), Ekaristi Kaum Muda (EKM), Ekaristi Eyang-eyang (EEE), Ekaristi Peneguhan Perkawinan (EPP), dan Ekaristi Kharismatik. Ekaristi-ekariti ini dikemas sedemikian rupa sehingga sesuai dengan namanya, dan ini pula yang menjadi salah satu daya tarik Mas Anto.

Menurut saya, tentu Mas Anto sekarang harus banyak berterima kasih pada Opa Tom. Beliau sangat banyak memberikan sumbangan bagi Mas Anto sehingga Gereja St. Antonius Kotabaru bisa jadi seperti ini, menjadi gereja yang terbuka dan kontekstual. Semoga semangat Opa Tom juga bisa menyemangati teman-teman di Mas Anto, dan kita semua, di mana pun kita berkarya.
Saya pribadi merasa bangga dan bahagia karena pernah mengenal Opa Tom dan diijinkan menjadi bagian dari Mas Anto. Semoga ke depannya Mas Anto semakin bisa memberikan yang terbaik bagi seluruh umat, demi kemuliaan nama Allah yang lebih besar lagi. Salam AMDG!


Yogyakarta, 5 April 2014
Mengenang enam tahun meninggalnya Opa Tom

Stella Vania Puspitasari

*beberapa informasi dalam tulisan ini saya kutip dari tulisan Om Agustinus Herwanto berjudul “Begawan Teologi yang Pandai Berkhotbah”, juga dari Seminar IHS di Kolsani beberapa waktu lalu. Matur nuwun!

ps: bagi teman-teman aktivis Gereja St. Antonius Kotabaru, semangat untuk persiapan Paskah-nya, tetap jaga kesehatan :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar