Beberapa waktu lalu saya mengikuti seminar
tentang Gereja di Indonesia, menurut pandangan Romo Tom Jacobs, SJ, atau yang
biasa saya panggil Opa Tom. Jujur saja, mendengar nama Opa Tom, yang pertama
muncul dalam benak saya bukanlah kehebatannya sebagai seorang teolog yang
memang sudah terkenal, melainkan kenangan bersama beliau, layaknya opa dan
cucunya sendiri. Ya, saya mengenal beliau sejak kecil, tapi bukan itu yang
pertama-tama ingin saya ceritakan di sini.
Mendengar orang berbagi tentang
pemikiran Opa Tom, sebenarnya bukan hal yang baru bagi saya. Tapi entah kenapa,
baru kali ini saya menemukan kesamaan antara Opa Tom dan Gereja Santo Antonius
Kotabaru, yang kadang saya sebut dengan panggilan sayang “Mas Anto”. Sebenarnya,
bukan hal yang mengherankan jika Opa Tom dan Mas Anto memiliki beberapa
kesamaan, karena Opa Tom tinggal di seputar Kotabaru selama 42 tahun. Opa Tom
mulai tinggal di Kolsani sejak tahun 1966, kemudian pindah ke Pastoran Kotabaru
pada 1994.
Terbuka
Beberapa pribadi yang tidak terlalu
mengenal Opa Tom seringkali menganggap Opa Tom adalah sosok yang galak, tegas
dan kaku. Namun bagi mereka yang mengenal Opa Tom, termasuk lewat
karya-karyanya, akan menemukan bahwa Opa Tom adalah pribadi yang terbuka. Opa
Tom menerima pertanyaan, saran atau kritik atas karyanya. Bahkan tidak jarang
beliau juga mengritik karyanya sendiri.
Keterbukaan Opa Tom juga pernah
saya alami sendiri. Sekitar sembilan tahun lalu, saya mengajak Opa Tom
bersalaman dengan cara yang khas, dan kemudian salam itu dipakai terus, bahkan
oleh teman-teman saya ketika bersalaman dengan Opa Tom. Opa Tom bersedia
diajari oleh anak kelas 5 SD, dan bagi saya, ini adalah tanda keterbukaan Opa
Tom.
Opa Tom juga sangat menghargai
orang lain. Contoh yang paling nampak adalah setiap beliau memimpin ekaristi,
ketika lektor hormat ke arah beliau, beliau pun akan berdiri dan menghormat ke
arah lektor tersebut. Hal ini memang sederhana, tapi sungguh menunjukkan rasa
penghargaan beliau pada orang lain.
Mas Anto sendiri sudah terkenal
sebagai gereja yang terbuka. Dari segi gedung gereja, Mas Anto selalu buka
setiap hari pukul 05.00-20.00. Selain itu, Mas Anto juga membuka diri bagi
siapapun yang mau aktif melayani. Bahkan menurut hasil litbang beberapa tahun
lalu, 77% umat yang datang ke Mas Anto adalah warga dari luar Paroki St.
Antonius Kotabaru (termasuk saya!).
Keterbukaan Mas Anto juga tampak
dari terbentuknya berbagai komunitas yang mewadahi umat. Mewadahi di sini
artinya mewadahi minat atau bakat, juga mewadahi kebutuhan umat. Misalnya saja ada
komunitas Paguyuban TV Monitor (Patemon), K25+, Komunitas Belajar Teater (KBT)
yang akhir-akhir ini akrab disebut Visualizers, Kaum Muda Peduli, Tim Ekaristi
Kaum Muda (EKM) dan sebagainya. Ditambah lagi, hampir semua komunitas di Mas
Anto ini mengadakan open recruitment, sehingga umat bisa bergabung dengan
komunitas-komunitas ini. Sungguh sangat terasa keterbukaannya.
Selain itu, Mas Anto juga membuka
diri untuk membantu mereka yang membutuhkan. Contoh sederhana, Mas Anto
membantu komunitas-komunitas di dalam maupun luar paroki yang membutuhkan dana
dengan tugas pelayanan jaga parkir. Contoh lainnya, Mas Anto secara rutin
mengadakan beberapa bakti sosial, seperti donor darah, pemberian bibit ikan
pada warga bantaran Kali Code, dan sebagainya.
Mas Anto pun membuka diri pada
saudara-saudara yang memiliki agama atau kepercayaan lain. Komunitas Persaudaraan
Lintas Iman (PELITA) menjadi buktinya. Meski kini komunitas itu vakum, tapi
keberadaan dan usahanya menjadi tanda keterbukaan Mas Anto.
Kontekstual
Dalam seminar tentang Opa Tom
beberapa waktu lalu, kata kontekstual seringkali disebut. Begitulah, Opa Tom
memang romo landha yang sangat nJawani. Bahkan katanya, beliau sempat ingin
mengganti namanya menjadi Sutomo, agar lebih Jawa. Seringkali saya merasa Opa
Tom ini lebih Jawa daripada orang Jawa. Romo landha ini sangat fasih berbahasa
Jawa, dan jadi salah satu andalan untuk memimpin misa bahasa Jawa di Kotabaru.
Opa Tom juga kontekstual dalam hal
berkomunikasi dengan orang lain. Beliau sangat empan papan. Di hadapan mahasiswanya, beliau berlaku sebagai dosen,
tapi di balik mimbar beliau adalah romo yang homilinya selalu jadi favorit. Kalau
beliau merasa terusik, galaknya minta ampun, tapi di depan orang yang baik-baik
saja dengannya, beliau pun akan bersikap baik.
Karena kontekstual itu tadi, Opa
Tom menjadi romo favorit di semua kalangan, baik lansia, ibu-ibu, bapak-bapak,
anak-anak, remaja dan kaum muda. Opa Tom menjadi langganan memimpin misa anak. Bahkan
Opa Tom yang sampun sepuh itu juga
pernah memimpin Ekaristi Kaum Muda (EKM), hal yang (saat itu) membuat saya
kaget.
Opa Tom dan beberapa kaum muda dan (saya, saat itu) kaum akan muda :p |
Kata kontekstual juga tidak bisa
dilepaskan dari Mas Anto. Teks misa di Mas Anto dibuat oleh umat, dalam hal ini
Tim Liturgi, yang berangkat juga dari isu atau keprihatinan yang dialami umat. Rupanya,
hal ini tidak berlaku di semua gereja (saya juga baru tahu setelah mengikuti
sharing dengan tim liturgi beberapa paroki lain).
Selain itu, Mas Anto pun memiliki
beberapa “ekaristi khusus”, misalnya saja Ekaristi Kreatif Anak (EKA), Ekaristi
Kaum Remaja (EKR), Ekaristi Kaum Muda (EKM), Ekaristi Eyang-eyang (EEE),
Ekaristi Peneguhan Perkawinan (EPP), dan Ekaristi Kharismatik. Ekaristi-ekariti
ini dikemas sedemikian rupa sehingga sesuai dengan namanya, dan ini pula yang
menjadi salah satu daya tarik Mas Anto.
Menurut saya, tentu Mas Anto
sekarang harus banyak berterima kasih pada Opa Tom. Beliau sangat banyak
memberikan sumbangan bagi Mas Anto sehingga Gereja St. Antonius Kotabaru bisa
jadi seperti ini, menjadi gereja yang terbuka dan kontekstual. Semoga semangat
Opa Tom juga bisa menyemangati teman-teman di Mas Anto, dan kita semua, di mana
pun kita berkarya.
Saya pribadi merasa bangga dan
bahagia karena pernah mengenal Opa Tom dan diijinkan menjadi bagian dari Mas
Anto. Semoga ke depannya Mas Anto semakin bisa memberikan yang terbaik bagi
seluruh umat, demi kemuliaan nama Allah yang lebih besar lagi. Salam AMDG!
Yogyakarta, 5 April 2014
Mengenang enam tahun meninggalnya
Opa Tom
Stella Vania Puspitasari
*beberapa informasi dalam tulisan
ini saya kutip dari tulisan Om Agustinus Herwanto berjudul “Begawan Teologi
yang Pandai Berkhotbah”, juga dari Seminar IHS di Kolsani beberapa waktu lalu. Matur
nuwun!
ps: bagi teman-teman aktivis Gereja
St. Antonius Kotabaru, semangat untuk persiapan Paskah-nya, tetap jaga
kesehatan :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar