selain cerita si bintang

11 Januari 2017

CTS: cina totok sekali

halo, gaes!
selamat natal dan tahun baru ya :D

wah, rasa-rasanya baru kali ini abis nonton film langsung pengen nulis blog. kalau nonton film lalu refleksi, itu biasa, tapi jarang bahkan mungkin hampir nggak pernah begitu nonton pengen nulis blog, which is tulisan panjang.

jujur aja, saya baru akhir-akhir ini aja seneng nonton film di bioskop. iya, kayaknya saya telat gaul sih. apalagi nonton film Indonesia, wuih jarang banget. alasannya agak klise sih, "paling juga ntar lagi nongol di tipi." padahal kalau nongol di tipi juga kagak pernah nonton :))

jadi begini ceritanya. saya abis nonton film yang kece abis, judulnya Cek Toko Sebelah (CTS). film yang disutradarai, ditulis skenarionya dan diperankan oleh Ernest Prakasa. setahun lalu saya juga nonton filmnya Koh Ernest, judulnya Ngenest. waktu itu saya seneng juga bisa nonton film Indonesia di bioskop, worth it lah, soalnya filmnya kece dan related banget sama hidup saya sebagai seorang keturunan cina. saya nyebutnya cina aja, yaaa, soalnya kalau 'tionghoa' kok rasanya makin 'beda' HAHA. apalagi waktu itu nontonnya sama Mbak Anne yang memang lagi bikin tesis soal cina. nah, ketika film CTS ini keluar teasernya, pikiran yang sekilas muncul adalah, "wah, toko! pasti soal cina nih!" stereotyping banget yak :))

pas mulai tayang dan banyak muncul komentar-komentar orang yang nonton, banyak yang bilang filmnya bikin inget tentang keluarga. wah, jadi makin tertarik nih saya. apalagi ketika beberapa kali iklan tentang CTS ini tayang di tipi, mama ketawa-ketawa. saya jadi pengen ngajak mama papa nonton, selain karena mama senang nonton stand up comedy di tipi dan di CTS ini banyak komika, tapi juga karena filmnya nyinggung soal keluarga, apalagi keluarga cina. 

nah, saya pengen beberapa hal yang berkesan nih buat saya, yang somehow related with beberapa pengalaman yang saya jumpai di beberapa keluarga cina di sekitar saya. mungkin paling pas bahas dari dua tokoh yang mengalami sibling rivalry: Yohan dan Erwin. 
jelas lah, Erwin itu anak kesayangan idaman setiap keluarga cina. sekolah di luar negeri karena beasiswa, karir bagus, dan satu hal lagi yang jadi nilai plus Erwin dibanding Yohan: pacarnya cina juga. sedangkan Yohan mungkin 180 derajat ya, hidupnya nggak jelas, suka judi, istrinya pribumi pula. saya nggak tau sih, karena nggak ada di film juga, tapi mungkin salah satu alasan Koh Afuk, si papa, nggak cocok sama Yohan ya itu, karena Koh Afuk nggak setuju sama pernikahan Yohan dan Ayu, yang alasan fundamentalnya adalah karena Ayu nggak cina. dan film itu menegaskan perbedaan antara Yohan dan Ayu dengan sangat manis, mereka punya panggilan sayang "Kohan" (Koh Yohan) dan "Mbakyu" (Mbak Ayu). 
sebelum nonton film ini, saya sempat baca di Twitter sih tentang panggilan sayang pasangan ini, lalu saya langsung mikir kalau ini ada hubungannya sama nikah beda etnis. sesungguhnya cinta beda etnis masih lebih ngenes dari cinta beda agama. kasarannya, kalau cinta beda agama jadi masalah, pindah agama lalu masalah selesai. lha kalau cinta beda etnis, mau apa coba? kelarrr... 
oke, balik ke topik. kenapa hal ini 'somehow related', karena saya (dan kayaknya kakak juga sih) rasa-rasanya punya kecenderungan untuk lebih tertarik menjalin relasi romantis dengan mereka yang bukan cina. #eaaa
ya bukan tanpa hambatan sih. persis seperti di film CTS ini, kalau papa saya sendiri selalu tanya, "Kok nggak cina tho? Mbok cari yang cina." beda dengan mama saya yang lebih woles. entahlah, mungkin memang para bapak ini merasa lebih punya tanggung jawab untuk 'melestarikan keturunan', sedangkan para ibu lebih legawa karena lebih pengen lihat anaknya happy no matter what. mungkin efek budaya patriarki. ya, mungkin sih. namanya juga asumsi, bisa jadi keliru. lho, kok jadi curhat ya. balik lagi lah ke filmnya.

saya nggak heran sih kenapa Koh Afuk lebih percaya sama Erwin, karena di berbagai segi kehidupan si Erwin ini memang 'win' gitu, memang menang. tapi satu hal yang bisa kita pelajari dari Erwin. kita sebagai anak kadang terlalu fokus pada perkembangan diri kita sendiri, yang kita pikir bisa membanggakan orang lain atau bisa memenuhi kebutuhan orang lain berdasarkan sudut pandang kita. kita lupa kalau orang lain di sekitar kita, termasuk orangtua kita, juga memiliki tahap perkembangannya sendiri, dan ini membuat kebutuhan mereka mungkin berbeda dengan yang kita kira jadi kebutuhan mereka. dalam film CTS, Koh Afuk punya kebutuhan untuk istirahat, dan tampaknya dia juga punya kebutuhan untuk berkumpul bersama anak-anaknya, apalagi anak kesayangannya, Erwin. dia nggak lagi butuh 'rasa bangga', karena baginya kebanggaan dan kebahagiaan yang utama adalah tokonya itu. karena yang 'berharga' dari suatu hal seringkali memang bukan 'harganya', bukan duitnya, tapi kenangannya. karena kenangan itu seringkali tidak ternilai harganya.
di sisi lain, betapapun ancurnya kehidupan Yohan, dia juga 'cina banget', karena menomorsatukan keluarga. eh nggak gitu maksudnya. meski si Yohan ini pernah nakal banget, dia tetap memikirkan keluarganya, ya tipikal orang yang akan mendahulukan kepentingan orang lain dibanding diri sendiri gitu. Yohan ini sebenarnya adalah orang yang bisa belajar dari masa lalunya. dia kini menjadi orang yang sangat bertanggung jawab, bahkan dia bilang begini ke istrinya, "Ngewujudin mimpi kamu itu tanggung jawab aku, bukan orang lain." nyesss...

eh tiba-tiba ketika nulis ini saya jadi kepikiran, cerita CTS ini kok agak mirip sama perumpamaan Yesus tentang anak yang hilang. anak bungsu, si Erwin, itu 'foya-foya', artinya nggak hadir ketika mamanya sakit, tapi dia yang dipercaya untuk mengelola toko, kalau di alkitab, Erwin yang 'diambilkan jubah dan cincin lalu dibikinkan pesta oleh si ayah', sedangkan si sulung Yohan yang selalu ada dan setia itu nggak dikasih apa-apa. entahlah memang terinspirasi, atau saya aja yang pakai cocoklogi :))

dua sosok perempuan yang juga penting dalam film ini adalah Natalie, pacarnya Erwin, dan Ayu, istrinya Yohan. Natalie ini juga sosok cewek cina modern nan independen masa kini yang nggak pengen punya toko karena cenderung menghindari peran domestik. Ayu, istrinya Yohan, ini perempuan yang sangat memahami dan bisa 'ngalem' orang lain, nggak cuma ngalem suaminya, tapi juga Natalie yang notabene cenderung meluap-luap emosinya. saya terkesan dengan percakapan dua perempuan ini, di mana Ayu ngomong, "Sebenernya ini untuk dia (Erwin), atau untuk kamu? Kamu sayang sama Erwin? Kamu udah milih Erwin, sekarang saatnya dia milih."
kata-katanya mungkin nggak panjang lebar tinggi sih, tapi ngena banget. luntur udah semua ego, karena kata-katanya sederhana tapi disampaikan dengan sangat mendalam jadi nanceppp jlebbb. dan bukan tanpa alasan Ayu ngomong begitu. karena dia sudah pernah mengalami bergulat dengan Yohan, suaminya, yang mungkin lebih berat gitu pergulatannya. maka, dia bisa membagikan apa yang dia miliki, yaitu apa yang pernah dia alami. karena kata-kata Ayu tadi, di akhir cerita si Natalie berhasil mengalahkan egonya, meski berat dan nggak mudah, dan nggak jadi :))
karakter dua perempuan ini sebenarnya bertolak belakang. meski mereka sama-sama punya mimpi, tapi Natalie terus mengejar mimpi itu dengan ngotot, sedangkan Ayu mengejar mimpi itu tapi alon-alon waton kelakon. eh, ini termasuk stereotipe ras tertentu nggak ya? hehehe...

overall, nonton film CTS ini berasa lagi lomba lari. awal-awal itu rasanya mau lari cepet, adrenalin dan emosinya naik. di tengah, mulai capek, mulai turun emosinya. hampir selesai larinya cepet lagi. nonton CTS itu banyak ketawa! lihat aja cast-nya banyaaak banget komika, dan semua pemeran literally punya peran. tapi juga ada bagian yang very touching, sampai bikin saya mbrambangi. menariknya, di bagian akhir, penonton dengan cepat dinaikkan lagi mood-nya, dan ditutup dengan tawa. jadi kalau ada penonton yang mengalami LSS (baca: last scene syndrome) itu tetap merasa hepiii walau abis nangis kejer :))

satu hal lagi yang bikin nonton CTS ini istimewa, karena saya nonton bareng mama papa. dan komentar pertama mama setelah nonton, "ya kalau cina totok ya emang kayak gitu." :))
komentar mama ini makin menegaskan kalau keluarga kami termasuk cina gagal, karena nggak punya toko, nggak bisa ngomong bahasa Mandarin dan nggak punya nama cina :))

terima kasih ya, Koh Ernest dan Teh Meira (sok kenal banget sih, van~) sudah memberikan tayangan yang menghibur, menyentuh, membuat berefleksi, membuat hati hangat, menginspirasi. semoga keluarga kalian selalu dilimpahi berkat dan kebahagiaan dari Tuhan yang Maha Keren! :D


11 Januari 2017
12.45 AM
beberapa jam setelah nonton film CTS


Stella Vania
@vania_ps


PS: HARTA YANG PALING BERHARGA ADALAAAHHH...... (apa sodara sodaraaaaa???) :D


Tidak ada komentar:

Posting Komentar