selain cerita si bintang

28 Februari 2018

menjaga kewarasan

Heyho! Apa kabar 2018mu? Semoga dua bulan di awal 2018 ini berjalan menyenangkan dan bisa menjadi penyemangat untuk bulan-bulan berikutnya, ya :D

Kemarin, saya sempat iseng bikin polling di Twitter: mana yang lebih susah, menahan diri untuk cerita hal yang menyenangkan, atau menahan diri untuk cerita hal yang menyedihkan atau mengesalkan?
Saya belum lihat hasil akhirnya sih, tapi berdasar data terakhir yang saya lihat, kebanyakan memilih lebih susah menahan diri untuk cerita hal yang menyedihkan atau mengesalkan, intinya cerita yang mengandung aspek emosi negatif. Hal ini bisa dibilang wajar. Kalau kata dosen saya di S1 dulu, orang itu akan cerita kalau punya masalah, atau yang diceritakan itu biasanya adalah masalah. Saya pribadi juga merasa sih, kalau lagi bete atau sedih atau cemas gitu bawaannya pengen cerita sama siapa pun. Ya walaupun mungkin masalahnya nggak selesai, tapi minimal ada perasaan lega karena sudah berbagi dan tau ada orang yang care. Seorang sahabat saya pernah bilang kalau beban yang dibagi itu (seakan-akan rasanya) jadi hilang setengah bebannya. Itu yang (mungkin) biasa disebut sebagai katarsis.

Akan tetapi berdasarkan pengalaman saya, cerita bahagia, membanggakan, mendebarkan (dalam arti positif) atau yang mengandung aspek positif itu juga susah untuk tidak dibagikan. Misalnya kita lulus ujian, naik kelas/naik pangkat/naik gaji, keterima kerja, jadian, dapet undian, mau liburan, rasanya juga pengen seluruh dunia tau kan? (cari temen, atau jangan-jangan cuma saya doank ya hahaha). Seorang sahabat (yang sudah saya sebut di atas) juga menambahkan kalau cerita bahagia yang dibagi, itu (seakan-akan) jadi dua kali lipat bahagianya.
Maka, menurut saya, cerita sedih maupun cerita bahagia sama aja susah ditahan untuk nggak dibagikan, meski oleh orang yang pendiam dan pemalu seperti saya :P *kemudian ditimpuk mouse* *gapapa sini saya terima hahaha*

Walau gitu, tetap aja ada bedanya antara cerita sedih dan cerita bahagia. Ketika cerita sedih/kesel kita bagikan, biasanya akan ada sesuatu yang diberikan oleh orang yang mendengarkan cerita kita, sesederhana kata ‘sabar ya’, emoji ikut kesel/marah, diberi pukpuk atau hugs, diberi saran atau nasihat, dan macem-macem. Intinya, apa yang diberikan oleh orang itu, kemungkinan besar akan menurunkan rasa sedih/kesel/cemas kita. Sebaliknya, ketika cerita senang kita bagikan ke orang lain, biasanya orang itu akan turut senang atau memberi komentar menyenangkan yang akan meningkatkan rasa senang kita. Apalagi kalau kita cerita tentang harapan atau ekspektasi atau rencana kita, biasanya komentarnya tuh makin membuat perasaan kita melambung dan imajinasi kita makin menjadi-jadi. Menurut saya, di sini kudu ati-ati. Ingat, segala sesuatu yang berlebihan itu nggak baik, termasuk ekspektasi berlebihan. Kalau ekspektasi nggak kesampaian, saaaakkkkiiiittt~~ haaaatttiiikkuuu~ *kemudian nyanyi*
Ada beberapa contoh dari pengalaman pribadi saya tentang cerita ekspektasi ini. Misalnya dulu udah punya rencana mau liburan ke Malaysia, udah cerita ke mana-mana, ternyata dibatalin. Udah yakin bakal keterima di yujiem karena di unpad yang relatif lebih susah seleksinya aja bisa keterima, eh ternyata gagal. Udah janjian mau ketemuan di Jogja karena bakl pulang, ternyata jadwal masuk kuliah dimajuin. Terus jatuh cinta sama si itu, udah cerita ke mana-mana, digodain dan didoain orang lain jadi harapan makin melambung ternyata pedhot ugha. Saaaakkkiiittt~~ haaattiiikuuu wooo uwooo~ ooooouuuwwoooo~ *kemudian nyanyi lagi*

Pas nulis ini tiba-tiba saya keinget salah satu prinsipnya St. Ignatius Loyola (maklum, kebanyakan bergaul sama yesweet :P). Saya lupa gimana persisnya kalimatnya, tapi intinya: ketika merasa senang (konsolasi) ingat-ingatlah masa-masa sedih (desolasi), dan sebaliknya, ketika masa-masa sedih (desolasi) ingat-ingatlah masa-masa senang (konsolasi).

Jadi kalau ada yang merasa sedih dan mau menyerah karena skripsi ditolak mulu sama pembimbing, coba ingat momen menyenangkan dalam bikin skripsi, misalnya ketika berhasil menemukan masalah penelitian, ketika revisian di-acc, ketika pengambilan data selesai (contohnya konkret banget ya, maklum masih mahasiswi, lagi belajar metode penelitian pula hahaha)
Atau ketika ada konflik besar sama pasangan dan rasanya pengen pisah aja, coba diingat hal-hal yang membuat jatuh cinta, atau yang membuat relasi semakin dekat.

Ketika liburan yang (puji Tuhaaan) cukup panjang akhir 2017-awal 2018 lalu, saya beberapa kali refleksi perjuangan di semester 1 kemarin, sambil tetap mengingat-ingat Jatinangor yang sedang saya tinggal untuk berlibur di Jogja tercinta. Supaya nggak keenakan libur dan nggak lupa balik ke Nangor gitu maksudnya hehe
Ketika kita mendapatkan hal yang kita inginkan, ingat juga betapa menantangnya perjuangan untuk mendapatkan hal itu.

Bagi saya, refleksi-refleksi seperti ini sangat membantu untuk menjaga saya untuk tidak larut pada kesedihan/kekesalan/kemarahan berkepanjangan, maupun kesenangan berkepanjangan. Karena hidup itu konon katanya seperti roda yang selalu berputar, kadang posisi kita ada di atas, kadang posisi kita ada di bawah. Kadang kita hepi, kadang kita sedih. Tapi karena roda itu terus berputar, maka kesedihan dan kebahagiaan kita tak ada yang abadi~ *boleh dibaca sambil nyanyi*


Maka bagi saya, berbagi cerita baik cerita tentang hal menyenangkan, maupun menyedihkan atau menyebalkan, dibarengi dengan refleksi-refleksi ini sangat membantu untuk tetap realistis dan untuk menjaga kewarasan. 


Jatinangor, 28-02-2018
si bintang yang suka berbagi cerita meski aslinya pendiam dan pemalu (plis, percaya aja :p)

3 komentar:

  1. Kalau kata orang Bali, "Amongken Liange, Amonto Sebete."

    It's always nice to read your stories. Care to meet someday, Vania?

    BalasHapus
  2. "Amongken Liange, Amonto Sebete", apa itu Mbak? :)
    see you when I see you, Mbak Adisty!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semacam petuah gitu. Artinya kurang lebih itu: seberapa besar kesenanganmu, sebesar itulah kesedihanmu

      Hapus