selain cerita si bintang

01 April 2018

pas kah?

Selamat Paskah, saudara saudari!

Paskah 2018 terasa berbeda bagi saya, karena ini adalah Paskah pertama saya di Jatinangor. Yup, saya enggak pulang ke Jogja. Sejak Natal 2017, saya sudah membulatkan tekad untuk Paskahan tidak di Jogja. Alasannya sebenarnya sederhana, hari Kamis pasti saya kuliah sampai sore. Kalau saya memaksakan pulang ke Jogja, pilihannya saya nggak ikut misa Kamis Putih atau saya bolos kuliah hari Kamis. Saya nggak mau milih keduanya, maka saya memilih Paskahan tidak di Jogja, pikiran saya mau Paskahan di Jakarta (dan sekitarnya) atau di Bandung. Saya nggak mau Paskahan sendirian. Tapi lagi-lagi karena masalah jadwal, ditambah juga masalah duit, dan pertimbangan dari salah seorang sahabat, "(Coba Paskahan di tempat) yang nggak mungkin kamu alami lagi," akhirnya saya memutuskan Paskahan di Jatinangor saja. Meski sudah memutuskan sendiri, ternyata galau juga cuy nggak ikut hiruk pikuk di Mas Anto, apalagi hari Kamis sebelum Minggu Palma banyak orang Kotabaru update gladi Kamis Putih, langsung mewek deh malam itu... 

Untungnya, karena keadaan lagi agak selo, besoknya bisa mlipir sebentar ke Jakarta. Jadilah saya ber-Minggu Palma di Jakarta. Hari Jumat itu saya dolan ke Paroki Blok Q untuk menghabiskan waktu. Di sana saya diajak untuk melihat hiruk pikuk persiapan Minggu Palma dan dikenalkan dengan beberapa umat. Lumayan, obat kangen Mas Anto. Senang sekali rasanya. Pas hari Minggu Palma saya ke Gereja St. Theresia Menteng, baru sekali itu ke sana, dan baru tau itu berbau Jesuit juga hehehe seperti biasa, lagu Yerusalem Lihat Rajamu sukses bikin saya mewek, selain karena suasananya, tapi saya juga ingat ponakan saya, Abel, yang dulu senang nyanyi, “Heruhalem, Heruhalem” dan kayaknya sekarang sibuk nyanyi di surga :”) Minggu Palma, meski saya misa sendiri, tapi selama di Jakarta saya ketemu beberapa sahabat. Hepi!

Ketemu Kakakku (baca: Romo Cahyo) dan Kinan (tetua misdinar)
Paroki Blok Q
Minggu Palma
setelah misa di Gereja St. Theresia Menteng
Meski Minggu Palma sudah hepi, ternyata jelang Kamis Putih saya galau lagi. Maklum, beberapa orang mengajukan pertanyaan seputar “paskahan di mana” dan “paskahan pulang enggak”, termasuk mama saya sendiri. Makjleb lho itu rasanya *kemudian mewek* tapi tekad sudah dibulatkan: Paskah di Jatinangor.
Nggak cuma bertekad paskahan di Jatinangor, saya pun bertekad naik angkot dan jalan kaki tiap ke gereja. Biasanya saya naik ojek dari kos. Maklum, jalannya lumayan jauh. Gereja yang saya datangi ini di dalam kompleks IPDN, namanya Gereja St. Albertus Magnus, atau biasa saya sebut dengan Mas Albert. Dari gerbang IPDN menuju gereja, jaraknya masih sekitar 1km, dengan jalan yang menanjak, berlubang, berpasir dan berkerikil. Naik ojek aja saya harus sambil merapal Salam Maria berulang kali, takut jatuh. Jalan kaki juga capek euy. Tapi tekad saya sudah bulat untuk nggak naik ojek.

jalan berlubang, berbatu, berkerikil
perjalanan menanjak, serasa ke Golgota (lebay)
jalannya lumayan jauh juga cuy

Ketika Kamis Putih, setelah naik angkot dan nyebrang, saya pun mau mulai berjalan kaki, eh baru beberapa langkah dari gerbang, tiba-tiba ada mobil mendekat dan pengemudinya membuka kaca lalu menawarkan tumpangan, “Mau ke gereja mbak? Bareng aja.” Saya kaget. Maklum, baru pertama kali mengalami. Yang memberi saya tumpangan saat itu adalah sebuah keluarga cukup muda, ada bapak, ibu dan anak laki-laki sekitar usia 8 tahun. Ibu itu aslinya Klaten. Ketika saya bilang terima kasih sekali dan maaf merepotkan, kata ibu itu, “Nggak apa-apa mbak, kan masih ada tempat, biar sekalian.” Saya terharu. Meski begitu ketika Kamis Putih saya tetap mellow, (seakan-akan sok-sokan) merasakan kegalauan, kesendirian, kegentaran, kesedihan, kecemasan Gusti Yesus di malam setelah perjamuan terakhir dan sebelum Dia ditangkap. Saya merasa sendirian, nggak dianggap, nggak penting. Tapi Allah Yang Maha Kreatif itu memang adaaa aja caranya ya, kala itu Dia menghibur dengan beberapa lagu, di antaranya lagu taize yang dinyanyikan saat misa, "Nada de turbe nada teespante, quien a Dios tiene nada lefalta, nada de turbe nada teespante, solo Dios basta", yang artinya “Janganlah cemas, janganlah takut, di dalam Tuhan berlimpah rahmat, janganlah cemas, janganlah takut, serahkan Tuhan.” Eh dapet bonus juga sih Kamis Putih ini, duduk di sebelah mas-mas ganteng #eaaa #abaikan

Kamis Putih
teks yang dipakai 4 hari dari Kamis sampai Minggu

Sakramen Maha Kudus di depan Patung Bunda Maria

Pas Jumat Agung, lagi-lagi saya berniat jalan kaki ke gereja. Maklum, saya nggak ikut jalan salib paginya, jadi anggap saja jalan kaki itu semacam perjalanan ke Golgota #lebay. Sudah sekitar sepertiga perjalanan dari gerbang saya tempuh dengan berjalan kaki, tiba-tiba ada mobil dari belakang yang mendekat dan menawari tumpangan. Di dalam mobil itu ada ibu paruh baya sekitar 50 tahunan yang ternyata asli Magelang, dan anak perempuannya sekitar 18 tahun (ceritanya baru mau lulus SMA dan pengen kuliah di Unpad, tapi dandanannya ngalahin yang S2 –maksudnya saya- sih ya). Ibu itu, namanya Ibu Retno, cerita kalau mereka dari Cirebon. Paginya mereka berangkat jam 7 dan sampai di Jatinangor sekitar jam 10. Beliau dan anak perempuannya sering ke IPDN karena anak laki-lakinya, kakak si anak cewek, di IPDN. Di perayaan Jumat Agung saya mendapat kejutan: passio yang dipakai adalah passio ciptaan Tante Alma yang adalah passio yang sering dipakai di Kotabaru dan favorit saya. Langsung lah mewek dan ikut nyanyi sepanjang passio. Ternyata juga salibnya yang dipakai untuk penghormatan salib cuma satu, jadi penghormatan salib dilakukan setelah ibadat. 

Jumat Agung
penghormatan salib setelah ibadat
Sabtu Malam Paskah, lagi-lagi saya dapat tumpangan lagi ketika sudah sepertiga perjalanan. Kali ini yang memberi tumpangan adalah pasutri dan Opung (yup, orang Batak). Pasutri ini sekitar usia 40 tahunan, dan sebenarnya tinggal di Jakarta, tapi Paskahan di Jatinangor demi mengunjungi Opung. Pasutri ini baik banget, bahkan menawarkan saya untuk menginap di rumah mereka kalau saya ke Jakarta. Ternyata, kakak ipar dari bapak itu orang Kotabaru, coy! Nggak jauh dari gereja katanya. Betapa sempitnya dunia! Ketika sudah turun dari mobil dan berjalan bersama Opung dan ibu, Opung itu mengajak saya mengobrol,
O: Kamu kuliah semester berapa?
V: Semester 2, tapi S2
O: Oh S2? Hebat kali. Jurusan apa?
V: Psikologi
O: Apa lah itu psikologi? Tak tau lah aku.
I: Itu Amang, mempelajari kejiwaan seseorang.
O: Oh, hebat kali bah. Kuliah yang benar ya, jangan… kalau orang Medan bilang marhallet. Jangan marhallet ya.
V: Apa itu?
I: Maksudnya jangan pacaran dulu.
V: OH HAHAHA *siap ngakak, tapi ditahan karena Opung melanjutkan nasihatnya*
O: Sekolah dulu yang benar, lalu kerja untuk ganti orang tua… ganti keringat orang tua ya.

Begitulah saya mengawali Sabtu Suci Malam Paskah. Ketika misa, ada beberapa bagian liturgi yang beda dengan di Kotabaru (pastinya), terutama karena malam itu di Mas Albert ada pembaptisan. Senang sekali bisa menjadi saksi pembaptisan dan penerimaan. Lagu Syukur Kepada-Mu Tuhan paling nyesss sih. Selain itu juga ada lagu Haec Dies, Hati Kudus Yesus dan Rejoice yang juga paling bikin nyesss di hati. Setelah misa, saya sempat ngobrol dengan beberapa orang, di antaranya adalah mereka yang koor Jumat Agung, karena saya menyapa dan mengapresiasi mereka sih waktu Jumat Agung. Saya jadi merasa nggak sendirian. Dan lagi, saya nyalami mas-mas ganteng yang duduk di sebelah saya waktu Kamis Putih HAHA #abaikan

Malam Paskah
awalnya gelap

Malam Paskah
jadilah terang
Minggu Paskah, sesuai anjuran Pastor Ote, saya pun ke gereja lagi. Niatnya sih jalan kaki lagi, tapi apa daya bangunnya telat, akhirnya naik ojek lah saya, diantar oleh tukang ojek langganan yang orang Jogja. Biasanya saya jarang misa Minggu Paskah, ternyata memang beda liturgi dan bacaannya. Kalau di sini, karena Malam Paskah ada pembaptisan, maka Malam Paskah nggak ada pemercikan untuk umat. Nah, pemercikannya baru saat Minggu Paskah. Eh ternyata abis misa ada ramah tamah gitu, ada snack, dan pembagian telur! Hahaha lucu amat, semua umat boleh mendapatkan telur paskah, nggak cuma anak-anak saja. Lumayan, rezeki anak kos :D

Minggu Paskah
pemberkatan telur setelah misa untuk dibagikan ke umat

Minggu Paskah
suasana ramah tamah di halaman sebelah gereja
Pada akhirnya, keputusan untuk berpaskah di Jatinangor adalah keputusan yang saya syukuri, bukan saya sesali. Tanpa ikut hiruk pikuk (seperti) di Mas Anto, tanpa (banyak) orang yang dikenal. Saya sendiri, tapi ternyata Gusti Allah nggak membiarkan saya benar-benar sendiri. Bahkan setelah misa Minggu Paskah, ketika saya jalan kaki ke kos, entah gimana ada seorang ibu yang ngajak ngobrol sepanjang jalan, ibu itu mau pulang ke rumahnya yang nggak jauh dari kos saya. Kalau kata salah seorang sahabat saya yang lain, "Keluarga emang jauh, tapi yang mirip-mirip ada lah."

Gusti Allah memang suka sekali bercanda, tapi cinta kasih-Nya nggak bercanda, serius banget! Keseriusan kasih-Nya ini sudah dibuktikan lewat peristiwa yang kita peringati pada Kamis Putih-Jumat Agung-Paskah, yang secara konkret diwujudkan oleh Yesus. Gusti Allah Yang Maha Kreatif itu juga menunjukkan kasih-Nya pada kita dengan cara berbeda-beda, sesuai dengan pribadi kita masing-masing, sesuai dengan kebutuhan kita, sesuai dengan kondisi dan situasi kita. Dan cara yang dipakai-Nya untuk kita masing-masing selalu pas.

Selamat Paskah, teman-teman! Semoga kebangkitan Kristus menguatkan kita untuk semakin berani berjuang dalam hidup. Salam, doa dan peluk virtual dari Jatinangor!

 

Minggu Paskah, 1 April 2018
Bukan April mop,

Vania yang pendiam dan pemalu (ini juga bukan April mop) :p

3 komentar:

  1. Selamat paskah, Vania. Aku baru tahu kalau kamu stay di Jakarta. Di mananya Vania?

    Dan, Cahyok sekarang tambah tua sekali ya... Jadi romo pula.

    BalasHapus