selain cerita si bintang

25 Januari 2020

semakin cina

xin nian kuai le, gaes!

imlek tahun ini rasanya beda dibanding imlek sebelumnya. sebenernya sejak dahulu kala, saya merasa enggak pernah bener-bener ngerayain imlek, cuma kumpul keluarga untuk makan-makan aja paling, angpao pun enggak selalu dapat. dua tahun terakhir, setelah saya tinggal di Nangor dan Bandung, saya selalu pulang saat malam imlek karena kumpul keluarga besar untuk makan-makan, nyekar, dan bagi angpao. tahun ini, enggak ada acara kumpul keluarga di Jogja, saya pun memutuskan untuk tidak mudik.

beberapa minggu sebelum imlek, papa tiba-tiba kirim beberapa foto kayak lagi ikutan suatu ritual di klenteng. ada mama, tante, om, dan sepupu saya di foto itu. ternyata, mereka lagi ikutan ciswak, semacam ruwatan ala Tionghoa. konon katanya, ritual ini dilakukan untuk mendoakan orang-orang dengan ship yang jiong atau enggak hoki di tahun yang akan datang, dan ternyata saya juga didoakan karena termasuk salah satu shio yang jiong.


shio yang jiong adalah yang dilewati garis abu-abu, 
yaitu shio tikus, kelinci, kuda, ayam
ritual di klenteng
saya tertarik sama ritual ini, karena tumben amat papa mama ke klenteng dan ikut ritual kayak begitu. dulu waktu saya kecil, saya juga pernah menjalani ruwatan dengan cara Jawa. jadi sebenarnya saya ini orang apa sih, entahlah. :))

saya kira ciswak itu cuma didoain dalam ritual itu, lalu selesai. ternyata, mama papa kirim paket buat saya, isinya ada air dengan bunga yang sudah didoakan, sabun, dan handuk. semua itu harus dipakai untuk mandi. karena saya merasa hal itu masih mungkin untuk dilakukan dan bermanfaat juga untuk kegiatan sehari-hari, akhirnya saya ikutin aja lah. lagian didoain yang baik-baik kok masak ditolak, aminin aja lah hehe. hasilnya, ya kayak mandi biasa aja sih, enggak ada sesuatu yang istimewa. 

air kembang, sabun, handuk untuk ciswak
di malam imlek, saya memutuskan untuk ikut tur malam imlek, acaranya jaringan kerja antar umat beragama (Jakatarub). saya ikut acara ini bareng sama beberapa teman dari Sekolah Damai INdonesia (Sekodi), Peace Generation, YIPC, dan beberapa komunitas lintas iman lainnya. seru banget! kami kunjungan ke klenteng, vihara, dan kong miao. pertama, kami kumpul di Klenteng Besar atau Klenteng Xie Tian Gong atau disebut juga Vihara Satya Budhi. di situ, kami diberi penjelasan oleh Pak Sugiri tentang makna imlek bagi orang Tionghoa dan sejarah bangunan klenteng tertua di Bandung itu. kami dibagi beberapa kelompok untuk masuk klenteng dan diberi penjelasan lebih detail. 

peserta tur malam imlek 2020, almost 90 people!

dari Klenteng Besar, kami berjalan kaki ke Vihara Tanda Bhakti. ini adalah vihara Tridharma juga, sama seperti Klenteng Besar. Tridharma maksudnya bahwa vihara atau klenteng itu bisa digunakan oleh umat Buddha, Khonghucu maupun Tao. awalnya, Vihara Tanda Bhakti ini adalah vihara khusus untuk orang tionghoa yang bermarga Tan, tapi sepertinya sekarang sudah terbuka untuk siapapun. di vihara ini, kami enggak cuma ngobrol-ngobrol, tapi juga dikasih suguhan mie dan kopi. walau mie instan, tapi lumayan lah mie panjang umur, anak kos can relate banget sih. :))


foto bersama di Vihara Tanda Bhakti

mie panjang umur
tempat ketiga yang kami kunjungi adalah Dharma Ramzi. ini adalah klenteng tertua kedua di Bandung setelah klenteng besar. lokasinya agak tersembunyi di dalam gang, tapi isinya lengkap banget! di pelataran Dharma Ramzi, ada barongsai yang beraksi, meski kayaknya anak-anak kampung situ sih yang main-main, tapi saya tetep excited liat barongsai. di Dharma Ramzi, kami dikasih suguhan bubur kacang ijo dan ketan item, plus roti. ini mah lebih ke hidangan gaya Bandung, tapi tetep yummy!
tuan rumah di Dharma Ramzi

bubur kacang
yang menarik di Dharma Ramzi adalah banyaaak banget patung dewa dewi yang punya kisahnya masing-masing, misalnya ada Dewi Kwan Im, Dewa Rezeki dan Dewa Jodoh. ada cerita menarik waktu beberapa dari kami ngobrol-ngobrol sama salah satu om-om relawan di depan patung Dewa Jodoh. salah satu teman peserta tur malam imlek, teteh-teteh muslim berkerudung sambil bercanda bilang ke saya dan teman sekodi, "Ini dewa jodoh, sok atuh doa minta jodoh. Aku mah udah tadi." teman saya bertanya, "Kayak gimana doanya?" lalu teteh tadi menyebutkan doa secara Islam. saya merasa itu adalah pengalaman yang menarik dan keren. patung, hio, buah-buahan, bahasa yang digunakan, itu semua hanya sarana, tujuannya mah gimana doa dan harapan kita sampai kepada Doi Yang Maha Yoi. 
Dewi Kwan Im

Dewa Rezeki, semoga cuan beserta kita!

Dewa Jodoh, ada amin saudara?
tempat terakhir yang kami kunjungi dalam tur malam imlek 2020 adalah Kong Miao, atau tempat ibadah penganut Khonghucu. di sana, kami dijelaskan tentang sejarah agama Khonghucu di Indonesia, dan bagaimana perjuangan mereka untuk jadi agama yang diakui di Indonesia. bapak yang menyambut kami berkata, "Gus Dur itu malaikatnya orang-orang Khonghucu," ya karena betapa besar jasa beliau hingga budaya Tionghoa dan agama Khonghucu boleh diaktualitasikan di Indonesia. 
di Kong Miao, nyaris tengah malam setelah menerjang hujan dan genangan

dari tur malam imlek ini, saya menangkap ada sedikit perbedaan makna imlek antara orang Tionghoa pada umumnya, dengan umat Khonghucu secara khusus. bagi orang Tionghoa, apapun agamanya, imlek dirayakan sebagai tahun baru, sebagai perayaan budaya, sebagai tradisi. orang pada mudik, makan bersama, bagi-bagi angpao, intinya kumpul keluarga. bagi umat Khonghucu secara khusus, imlek dirayakan sebagai hari raya keagamaan. ada sih orang Tionghoa yang bukan umat Khonghucu yang juga beribadah (baca: ke klenteng) waktu imlek, tapi itu lebih karena tradisi, bukan karena agama. enggak heran ketika ada orang yang berusaha melakukan akulturasi budaya Tionghoa dengan agama selain Khonghucu (misalnya bikin misa imlek), lalu orang Khonghucu protes karena merasa mencampuradukkan antara dua agama. bagi saya pribadi, setiap orang punya hak untuk memaknai imlek dengan pandangannya sendiri. yang kurang tepat adalah ketika kita memaksakan orang lain harus sependapat dengan kita, bahkan mengecap mereka yang berbeda pendapat dengan kita itu sesat. sebelum semua itu terjadi, kunjungan, dialog, dan kerjasama yang dilakukan, seperti pada tur malam imlek ini, sangat baik dilakukan untuk mengklarifikasi asumsi, memperoleh informasi, dan menghapus stigmatisasi. 

anyway, meski enggak kumpul bareng keluarga, meski enggak dapat angpao, meski enggak punya baju baru, enggak makan kue kranjang, lapis legit dan ikan, tapi saya senang sekali banyak belajar tentang apa yang menjadi (salah satu) akar budaya saya. saya merasa jadi makin cina, meski masih tetep cina kw alias cina gagal. :))
selamat imlek! gong xi fa cai!
seharian hujan deras di Bandung, semoga rezeki mengalir deras juga untuk kita semua sepanjang tahun. 


Sabtu, 25 Januari 2020
cina kw yang waktu tur malam imlek pakai kaus gambar gunungan dengan bahasa Jawa kuno, dan ada salibnya












nonik vania

2 komentar: