selain cerita si bintang

30 April 2013

Cinta Kasih dasar Bhinneka Tunggal Ika


Dalam dunia ini, tidak pernah ada orang yang sama. Bahkan, orang kembar identik sekalipun tetap memiliki perbedaan, mereka tidak seratus persen sama. Perbedaan itu bisa terjadi pada fisik, sikap, pola pikir, gaya hidup, bahkan tipe kepribadian. Terlebih di Indonesia, dengan wilayah yang luas dan berbagai pulau dengan berbagai suku, kebudayaan dan agama. Bangsa kita ini terkenal sebagai bangsa yang sangat plural, namun seperti semboyan Bhinneka Tunggal Ika, perbedaan itu diharapkan bisa mempersatukan.
Sayangnya, perbedaan-perbedaan itu seringkali malah menimbulkan gesekan-gesekan tertentu. Ada hal-hal yang tidak bisa ditolerir satu sama lain hingga akhirnya menimbulkan konflik, bahkan berujung pada kekerasan yang sebenarnya berdampak buruk untuk semua pihak.
Seperti kita ketahui, kekerasan yang dilakukan oleh suatu oknum agama tertentu tampak dilegalkan pada waktu-waktu tertentu. Misalnya ketika Ramadhan, beberapa oknum ormas tertentu melakukan kekerasan dengan menutup paksa rumah makan yang buka pada siang hari, bahkan dengan menghancurkan beberapa barang di suatu rumah makan. Tindakan ini, meski mungkin tujuannya baik, tapi mengakibatkan kerugian bagi pihak lain. 
Penyegelan tempat ibadah pun masih kerap kita dengar beritanya. Di Bekasi misalnya, tempat ibadah Ahmadiyah Bekasi dilarang untuk digunakan. Bahkan ketika sholat Jumat, mereka dijaga oleh kepungan polisi. Masih di Bekasi, pemerintah melakukan penyegelan pada Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Hal ini sangat ironis karena berkontradiktif dengan UUD 1945 pasal 28E ayat 1 yang menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk memeluk agama dan beribadat sesuai agamanya. 
Gesekan seperti itu tidak hanya terjadi antar kelompok agama. Di antara sesama umat beragama tertentu pun dapat terjadi gesekan. Hal ini terjadi karena ada perbedaan dalam memaknai dan menjalankan perintah dalam agama itu sendiri. Akibatnya, antar kelompok itu saling memvonis satu sama lain sebagai sesat, dan jika tidak ada yang mau membuka diri dengan kenyataan bahwa mereka memiliki pandangan yang berbeda, akhirnya yang terjadi adalah perdebatan yang tak kunjung selesai dan melebar sampai ke mana-mana. Kejadian seperti ini sempat terjadi pada akhir 2012 lalu. Di sebuah grup facebook terjadi diskusi panjang, bahkan berlangsung hingga berhari-hari. Diskusi ini membahas variasi seperti tarian, drama dan lagu non rohani dalam sebuah perayaan ekaristi. Tentu ada yang pro dan kontra dengan hal ini, tapi rupanya ada orang-orang dalam diskusi ini yang tidak sepenuhnya terbuka pada pendapat orang lain, hingga akhirnya bersikap defensif dan berujung pada debat kusir yang keluar konteks pembicaraan.
Namun, walau terdapat beragam agama dan kepercayaan, sebenarnya semua itu memiliki kesamaan. Setiap agama sama-sama mengajarkan hukum yang utama yakni cinta kasih, dan semua agama membawa umatnya pada keselamatan, menurut definisi masing-masing agama. Maka sebenarnya, gesekan-gesekan yang terjadi itu tidak harus sampai ke konflik, jika tiap orang bisa mengamalkan hukum cinta kasih itu. 
Cinta kasih itu sangatlah luas dan dapat tercermin dari hal-hal kecil, bahkan ketika kita sama sekali tidak mengenal orang itu. Salah satu perwujudan cinta kasih adalah memperhatikan. Menurut Rogers, seorang Psikolog dari Amerika Serikat, seseorang akan bisa menampilkan diri mereka seutuhnya bisa diberi kasih tanpa syarat alias penghargaan tanpa syarat. Ketika seseorang diberi penghargaan tanpa syarat, dia akan cenderung menjadi tidak defensif dan juga menerima orang lain apa adanya.
Kita bisa mewujudkan penghargaan tanpa syarat ini dengan mau mendengarkan dan tidak langsung memberikan penilaian secara dangkal pada orang lain. Jangan sampai kita membuat penilaian yang prematur hanya karena pengaruh stereotip-stereotip yang berkembang di masyarakat, apalagi jika kita tidak menemukan bukti dahwa stereotip itu benar-benar berlaku di dunia nyata. Kita juga harus bisa berusaha untuk menjadi terbuka pada pendapat orang lain, bukannya memaksa orang lain untuk menjadi setuju dengan pendapat kita dan merasa diri paling benar. Sebaiknya kita memiliki semangat untuk mau belajar lebih banyak, walaupun dari orang yang berbeda, atau mengenai hal yang tidak kita setujui. Ingatlah bahwa selalu ada alasan dari argumen yang dikeluarkan oleh seseorang. Kita juga harus ingat bahwa Tuhan itu Maha Esa. Dia hanya satu, cara kita saja yang beragam untuk memuji dan memuliakan nama-Nya.
Tetapi memuji dan memuliakan nama-Nya itu bukan berarti kita setiap saat mengecer nama-Nya secara sewenang-wenang. Akhir-akhir ini sering muncul seseorang di TV yang karena suatu hal menyebut “demi Tuhan” dengan teriakan, mata berbinar-binar penuh kemarahan dan ditutup dengan beberapa kali menggebrak meja. Hal itu tentu tidak masuk dalam definisi memuji dan memuliakan Tuhan. 
Memuji dan memuliakan Tuhan juga tidak cukup hanya dengan rajin berdoa atau beribadat. Apalah artinya iman tanpa perbuatan? Maka jika kita ingin memuliakan nama-Nya, maka kita harus mewujudkannya dalam tindakan nyata. Dengan demikian, kita pun mewujudkan cinta kasih kepada sesama yang nantinya dapat menyatukan perbedaan dan meminimalisir konflik.


Stella Vania Puspitasari
Selasa, 30 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar